Perdagangan Karbon Indonesia Lampaui Target, Raup Transaksi Hampir Rp 80 Miliar
Perdagangan karbon di Indonesia menunjukkan perkembangan signifikan sejak diluncurkan pada September 2023, dengan volume transaksi internasional menembus angka 1,6 juta ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen). Pencapaian ini diungkapkan oleh Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI), Iman Rachman, yang menilai bahwa performa bursa karbon Indonesia cukup menjanjikan. Nilai transaksi yang berhasil diraih mendekati angka Rp 80 miliar. Bahkan, BEI telah menerima permintaan dari pemilik proyek di luar negeri untuk mendaftarkan kredit karbon mereka di platform IDXCarbon.
Iman Rachman menekankan bahwa volume perdagangan karbon Indonesia saat ini delapan kali lebih besar dibandingkan Malaysia, dan dua kali lipat lebih tinggi dari Jepang. Hal ini menunjukkan potensi besar Indonesia dalam pasar karbon global. BEI terbuka untuk kolaborasi dengan berbagai negara dalam upaya menekan emisi karbon, dengan fokus utama memperluas akses perdagangan unit karbon Indonesia ke pasar internasional.
Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, juga menyoroti pentingnya peran sektor-sektor baru seperti ekonomi karbon dalam mendukung target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8 persen. Saat ini, MPR sedang menyusun regulasi untuk memperkuat ekosistem pasar karbon, termasuk Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) yang memasukkan nilai ekonomi karbon dari carbon capture and storage (CCS) dan pemanfaatan energi terbarukan, serta revisi Undang-Undang Migas yang mencakup aspek karbon yang dapat diperdagangkan seperti CCS.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berupaya mencapai Mutual Recognition Arrangement (MRA) atau kesepakatan antarnegara dan standar karbon internasional seperti Verra, Gold Standard, Puro Earth, dan Plan Vivo. Wakil Menteri LHK, Diaz Hendropriyono, menyatakan bahwa komunikasi intensif telah dilakukan dengan Gold Standard, dengan target penandatanganan MRA pada Mei atau Juni. Draft MRA dengan Verra juga telah diterima dan sedang dalam proses kajian. Langkah ini dinilai krusial untuk membuka peluang bagi proyek karbon dalam negeri agar dapat diperdagangkan di pasar internasional.
Selain membidik pasar internasional, KLHK juga berupaya meningkatkan suplai karbon domestik. Sektor-sektor seperti biochar, limbah sawit, dan proyek BUMN seperti Pertamina NRE disiapkan sebagai sumber pasokan kredit karbon. Diaz Hendropriyono menegaskan bahwa kerjasama internasional tetap mengacu pada prinsip nasional, yaitu seluruh proyek karbon wajib terdaftar di Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI), mendukung pencapaian National Determined Contribution (NDC) Indonesia melalui mekanisme buffer, dan transaksi pertama dilakukan di Indonesia agar dapat dicatatkan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
IDXCarbon juga aktif mempersiapkan diri dengan menjajaki keanggotaan dengan Verra dan Gold Standard, serta memperkuat infrastruktur teknologi untuk integrasi sistem. Langkah-langkah ini menunjukkan komitmen Indonesia dalam mengembangkan pasar karbon yang kredibel dan berkelanjutan, serta berkontribusi pada upaya global dalam mengatasi perubahan iklim.