Sengketa PAW Anggota DPR Mencuat, KPU Serahkan Penanganan ke Mahkamah Konstitusi

Polemik terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus bergulir. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan sikapnya terkait gugatan terhadap pasal-pasal yang mengatur hak partai politik dalam melakukan PAW. Lembaga penyelenggara pemilu tersebut menegaskan bahwa kewenangan untuk menguji materi undang-undang berada di tangan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, materi hukum yang dipermasalahkan dan diajukan gugatannya ke MK adalah sepenuhnya wewenang dari Mahkamah Konstitusi," ujar Komisioner KPU, Idham Holik, dalam keterangan resminya.

Pasal 9 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2022 secara eksplisit menyatakan:

Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

KPU menegaskan komitmennya untuk menghormati seluruh proses hukum yang berlaku. Idham menambahkan bahwa KPU akan menunggu putusan resmi dari MK terkait gugatan yang diajukan. "KPU, sebagai pelaksana Undang-Undang Pemilu, akan menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Kami akan menunggu keputusan MK terkait permohonan uji materi terhadap peraturan perundang-undangan tersebut," tegasnya.

Berdasarkan penelusuran pada situs resmi Mahkamah Konstitusi, tercatat dua gugatan yang berkaitan dengan hak PAW anggota DPR oleh partai politik. Gugatan pertama diajukan oleh Chindy Trivendy Junior, Halim Rahmansah, Insan Kamil, Muhammad Arya Ansar, dan Wahyu Dwi Kanang, dengan nomor registrasi 41/PUU-XXIII/2025. Gugatan kedua diajukan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, dengan nomor registrasi 42/PUU-XXIII/2025.

Kedua gugatan tersebut sama-sama menyoroti pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3). Dalam gugatan bernomor 41, para pemohon meminta MK untuk menghapus Pasal 239 ayat 2 huruf d UU MD3. Mereka berpendapat bahwa hak partai untuk melakukan recall atau penggantian anggota DPR yang diatur dalam pasal tersebut tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan representasi rakyat.

Sementara itu, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dalam gugatan bernomor 42 mempermasalahkan setidaknya lima pasal dalam UU MD3 dan satu pasal dalam UU Pemilu. Gugatan ini memperluas cakupan persoalan PAW, tidak hanya terbatas pada mekanisme recall, tetapi juga aspek-aspek lain yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip pemilu yang demokratis dan representatif.

Dengan adanya dua gugatan yang diajukan ke MK, isu PAW anggota DPR semakin mendapatkan sorotan publik. Keputusan MK nantinya akan memiliki implikasi yang signifikan terhadap mekanisme PAW dan hubungan antara partai politik dengan anggota legislatif yang mereka usung. Putusan MK diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak yang berkepentingan.

Berikut poin yang dipersoalkan dalam gugatan:

  • Gugatan 41/PUU-XXIII/2025: Pemohon meminta MK menghapus Pasal 239 ayat 2 huruf d UU MD3 karena dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi dan representasi rakyat.
  • Gugatan 42/PUU-XXIII/2025: Pemohon menggugat lima pasal dalam UU MD3 dan satu pasal dalam UU Pemilu, memperluas cakupan persoalan PAW.