Perbandingan Pendidikan Karakter: Doutoku di Jepang vs. Profil Pelajar Pancasila di Indonesia

Perbandingan Pendidikan Karakter: Doutoku di Jepang vs. Profil Pelajar Pancasila di Indonesia

Pendidikan karakter telah lama menjadi fokus utama dalam sistem pendidikan Jepang dan Indonesia, meskipun dengan pendekatan dan implementasi yang berbeda. Di Jepang, sejak sekitar tahun 1970-an, terjadi pergeseran paradigma dalam kurikulum pendidikan yang menekankan pengembangan karakter di atas penguasaan teknologi semata. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa kemajuan suatu bangsa bergantung pada kualitas karakter warganya. Kurikulum yang dirancang pun berfokus pada pembentukan karakter sejak dini, baik dalam lingkungan informal keluarga dan masyarakat, maupun dalam pendidikan formal di tingkat sekolah dasar.

Salah satu pilar penting pendidikan karakter di Jepang adalah doutoku, sebuah mata pelajaran moral yang diterapkan di sekolah dasar. Secara harfiah, doutoku berarti “jalan kebaikan”. Pelajaran ini tidak hanya menekankan pada teori moral, namun lebih berfokus pada penerapan nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari. Buku teks seperti Watashi Tachi no Doutoku menggambarkan empat prinsip moral utama: moralitas intrapersonal (disiplin diri dan kepatuhan pada aturan), moralitas interpersonal (hubungan antarmanusia), moralitas terhadap alam (kesadaran lingkungan), dan moralitas dalam masyarakat (partisipasi sosial). Tujuan utama doutoku, menurut Dewan Reformasi Kurikulum Standar Nasional Jepang, adalah untuk membekali siswa dengan kemampuan berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat, serta menumbuhkan rasa hormat terhadap sesama, martabat manusia, dan kemandirian.

Berbeda dengan Jepang, Indonesia mengimplementasikan pendidikan karakter melalui pendekatan yang lebih komprehensif, yang diwadahi dalam konsep Profil Pelajar Pancasila. Sistem pendidikan karakter di Indonesia berfokus pada pengenalan, pembelajaran, dan penerapan nilai-nilai moral seperti religiusitas, kejujuran, toleransi, disiplin, kerja keras, kreativitas, kemandirian, demokrasi, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, kemampuan berkomunikasi, cinta damai, gemar membaca, kepedulian lingkungan, kepedulian sosial, dan tanggung jawab. Nilai-nilai ini diintegrasikan dalam proses belajar mengajar dan berbagai kegiatan ekstrakurikuler. Tujuan akhirnya adalah membentuk karakter pelajar yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Meskipun berbeda dalam pendekatan dan implementasinya, baik doutoku di Jepang maupun Profil Pelajar Pancasila di Indonesia memiliki tujuan yang sama: membentuk individu dengan karakter dan kepribadian yang baik, sesuai dengan nilai-nilai dan karakter bangsa masing-masing. Kedua sistem pendidikan ini menekankan pentingnya pendidikan karakter sebagai pondasi pembangunan bangsa yang berkelanjutan. Perbedaan pendekatan ini dapat menjadi bahan pembelajaran bagi kedua negara untuk saling bertukar pengalaman dan strategi dalam mengembangkan sistem pendidikan karakter yang lebih efektif dan holistik.

Kesimpulan:

Baik Jepang maupun Indonesia menyadari pentingnya pendidikan karakter dalam membentuk generasi masa depan. Meskipun strategi dan implementasinya berbeda, tujuan utamanya sama, yaitu mencetak generasi yang berkarakter kuat dan bermoral tinggi untuk kemajuan bangsa. Studi perbandingan lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengeksplorasi praktik terbaik dan mengidentifikasi strategi yang paling efektif dalam mengembangkan pendidikan karakter di masing-masing negara.