Warung Sate Mak Cenneng: Cita Rasa Legendaris yang Melewati Generasi di Bangkalan
Di sebuah sudut kota Bangkalan, Jawa Timur, tepatnya di Jalan Letnan Sunarto, Kelurahan Demangan, aroma menggoda sate bakar menguar, menandakan dibukanya warung sate legendaris 'Mak Cenneng'. Warung yang telah berdiri sejak tahun 1914 ini, bukan sekadar tempat makan, melainkan sebuah perjalanan rasa yang membawa kita kembali ke masa lalu.
Warung Sate Mak Cenneng memikat bukan hanya karena rasa satenya yang khas, tetapi juga karena suasananya yang unik. Bangunan tua yang menjadi latar belakang warung, ditambah dengan lokasinya di kawasan pecinan, memberikan sentuhan vintage yang sulit ditemukan di tempat lain. Lebih istimewa lagi, di dalam warung masih tersimpan gerobak pikul yang dulu digunakan oleh Mak Cenneng, sang pendiri, untuk menjajakan satenya di era penjajahan Belanda. Gerobak itu menjadi saksi bisu perjalanan panjang warung ini, dari masa lalu hingga kini.
Setiap harinya, mulai pukul 16.00, warung ini selalu ramai dikunjungi pembeli. Bahkan, tak jarang lalu lintas di sekitar warung menjadi tersendat karena banyaknya orang yang ingin mencicipi kelezatan sate Mak Cenneng. Subardi, cucu Mak Cenneng yang kini meneruskan usaha keluarga, dengan cekatan membakar sate di atas bara api. Tusukan-tusukan sate yang berisi daging sapi atau kambing pilihan, dicelupkan ke dalam bumbu rahasia sebelum dibakar hingga matang sempurna. Aroma khas dari tetesan lemak yang terbakar, membuat siapa pun yang melintas tak kuasa menahan air liur.
Rahasia kelezatan sate Mak Cenneng terletak pada bumbunya yang unik. Menggunakan petis dan kecap khusus, serta racikan bumbu rahasia keluarga, sate ini memiliki cita rasa yang berbeda dari sate lainnya. Bumbu yang kental dan berwarna gelap, memberikan perpaduan rasa manis dan gurih yang pas, semakin nikmat disantap dengan irisan bawang merah mentah.
Selain sate, warung Mak Cenneng juga terkenal dengan gulai kambing mudanya. Kuah gulai yang kaya rempah, berpadu sempurna dengan daging kambing muda yang empuk dan lezat. Menurut Subardi, setiap hari mereka menyembelih satu ekor kambing, serta beberapa kilo daging sapi dan ayam, untuk memenuhi permintaan pelanggan. Daging-daging tersebut diolah menjadi sekitar 1.500 tusuk sate, sementara tulang dan jerohan kambing diolah menjadi gulai.
Meski telah berdiri selama lebih dari satu abad, harga sate dan gulai di warung Mak Cenneng tetap terjangkau. Satu porsi sate kambing atau sapi dijual seharga Rp 35 ribu, satu mangkuk gulai kambing seharga Rp 30 ribu, dan sate ayam seharga Rp 20 ribu. Harga yang ramah di kantong, membuat warung ini selalu menjadi pilihan favorit bagi banyak orang.
Asal-usul nama 'Mak Cenneng' sendiri berasal dari julukan yang diberikan kepada Pak Reduh, pendiri warung yang juga kakek dari Subardi. Cenneng adalah sebutan bagi orang yang suka bercanda dan kerap latah. Julukan tersebut kemudian melekat pada dirinya dan warungnya, hingga akhirnya dikenal sebagai Warung Sate Mak Cenneng.
Usaha yang dirintis oleh Mak Cenneng terus berkembang dan diturunkan kepada putranya, H. Astamin, yang kemudian diteruskan oleh Subardi hingga saat ini. Dahulu, Mak Cenneng menjajakan satenya dengan cara dipikul keliling di sekitar kawasan tersebut. Subardi mengenang cerita dari ayahnya, bahwa jika terdengar suara pesawat Belanda, Mak Cenneng harus segera mematikan lampu lilinnya dan pulang untuk menghindari bahaya.
Salah satu pelanggan setia warung Mak Cenneng adalah Bangkit Dananjaya, seorang pria asal Salatiga. Ia mengaku ketagihan dengan sate dan gulai di warung ini. Menurutnya, rasa gulai di Mak Cenneng sangat nikmat dan tidak ia temukan di tempat lain. Bahkan, meski kini ia telah pindah tugas ke Balikpapan, ia selalu menyempatkan diri untuk singgah dan menikmati hidangan favoritnya saat pulang kampung. Baginya, sate dan gulai di warung Mak Cenneng memiliki rasa yang otentik, dengan kuah kaldu gulai yang khas dan daging sate yang dibaluri bumbu pekat. Ia berjanji akan selalu kembali ke tempat ini lagi.