RUU Masyarakat Adat Terkatung-katung: Penantian Panjang Keadilan yang Tak Kunjung Usai

Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat, sebuah harapan untuk memberikan keadilan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat di Indonesia, masih belum menemukan titik terang setelah berulang kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Penantian panjang selama 15 tahun, sejak pertama kali diusulkan pada tahun 2009, menjadi simbol betapa kompleks dan berlikunya jalan untuk mewujudkan perlindungan hukum bagi kelompok masyarakat yang memiliki hubungan erat dengan tanah dan sumber daya alamnya.

Diskusi daring yang diadakan baru-baru ini kembali mengangkat urgensi pengesahan RUU ini. Ismala Dewi, seorang pakar hukum dan masyarakat dari Universitas Indonesia (UI), menekankan bahwa penundaan pengesahan RUU ini berarti terhambatnya keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat adat. Isu krusial seperti hak atas air, yang sangat rentan terhadap dampak pembangunan, perubahan iklim, dan tekanan ekonomi, menjadi sorotan utama. Masyarakat adat, dengan kearifan lokal dan hukum adatnya, memiliki peran penting dalam menjaga kelestarian sumber daya alam, namun perlindungan hukum yang memadai masih menjadi kendala.

Dalam konteks ini, Ismala Dewi menyerukan agar pasal-pasal dalam RUU Masyarakat Adat disusun secara komprehensif dan harmonis, tidak bertentangan dengan peraturan yang ada, serta mampu memperbaiki kekurangan dalam regulasi sebelumnya. Prinsip pengelolaan sumber daya air, sebagaimana diamanatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.85/PUU-XI/2013, harus menjadi landasan penting dalam perumusan pasal-pasal yang mengatur sumber daya alam. Narasi yang jelas dan substansi yang lengkap menjadi kunci untuk memastikan bahwa RUU ini benar-benar melindungi hak-hak masyarakat adat atas sumber daya air.

Sebelumnya, akademisi dari IPB University, Rina Mardiana, juga menegaskan bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat merupakan wujud nyata dari amanat konstitusi. Dalam sebuah diskusi publik, Rina menjelaskan bahwa masyarakat adat adalah kelompok masyarakat otokton yang memiliki ikatan historis dan budaya yang kuat dengan wilayah tertentu. Mereka memiliki sistem hukum, sosial, dan ekonomi yang unik, yang membedakan mereka dari masyarakat lainnya. Pengakuan terhadap hak-hak tradisional masyarakat adat, sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, menjadi fondasi penting dalam upaya mendorong pengesahan RUU ini.

Rina Mardiana juga menyoroti bahwa tanpa adanya UU Masyarakat Adat, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat masih bersifat sektoral, lambat, diskriminatif, dan berpotensi menimbulkan konflik. Masyarakat adat memiliki hak atas tanah dan sumber daya alam secara tradisional, serta hak untuk mengatur diri sendiri. Oleh karena itu, pengesahan RUU ini menjadi sangat penting untuk memberikan perlindungan hukum yang komprehensif dan berkelanjutan bagi masyarakat adat di Indonesia. Keberadaan RUU ini juga akan memperjelas status masyarakat adat, menegaskan bahwa mereka bukan merupakan bagian dari negara atau kerajaan, melainkan entitas masyarakat yang memiliki hak-hak dasar yang harus dihormati dan dilindungi.