Jika Gagal Patuhi Aturan Deforestasi UE, Indonesia Bisa Rugi Rp 50 Triliun
20-November-24, 11:36Laporan kumpulan berita terkini dari berbagai media nasional - Kementerian Pertanian (Kementan) menilai Indonesia bisa rugi hingga Rp 50 triliun per tahun, jika tidak berhasil mematuhi kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR) atau Aturan Deforestasi Uni Eropa.
Ketua Tim Kerja Pemasaran Internasional, Ditjen Perkebunan, Kementan, Muhammad Fauzan Ridha menyampaikan bahwa Uni Eropa adalah pasar penting bagi ekspor sawit Indonesia, yang menyumbang sekitar 10 persen dari total ekspor sawit nasional.
"Ekspor sawit Indonesia sebesar 10 persen ke Eropa akan terdampak, manakala pemenuhan kriteria (EUDR) ini belum terpenuhi. Diperkirakan Indonesia akan kehilangan Rp 20-50 triliun per tahun apabila kita tidak bisa masuk pasar Eropa," ujar Fauzan dalam diskusi daring, Rabu (23/10/2024).
- Jurus Prabowo Swasembada Energi: Manfaatkan Sawit hingga Singkong
- Pengembangan Potensi Sawit Masih Terkendala Teknologi dan Isu Lingkungan
Ia menilai, jika Indonesia belum bisa memenuhi kriteria kebijakan EUDR yang ditentukan dalam waktu mendatang, ada kemungkinan Eropa akan mengalihkan impor minyak sawit ke Malaysia.
"Yang saat ini, tentu saja walaupun (Malaysia) secara produksi masih jauh di bawah kita, baru setengahnya. Tetapi Malaysia bisa dibilang sudah dapat dibilang patuh terhadap EUDR," imbuh dia.
Sebagai informasi, aturan EUDR mewajibkan perusahaan-perusahaan yang mengekspor produk ke Uni Eropa untuk menjamin produk mereka bebas dari deforestasi dalam rantai pasokannya.
Adapun implementasi EUDR yang awalnya direncanakan pada awal 2025, kemungkinan akan diundur hingga 2026.
Oleh karena itu, penerapan yang mundur dinilai dapat memberikan waktu tambahan bagi pemerintah dan para pelaku usaha untuk mempersiapkan diri. Namun, penundaan ini tetap menghadirkan tantangan bagi keberlanjutan industri kelapa sawit di Indonesia.
Masih hadapi tantangan
Untuk memasuki pasar Eropa, perusahaan harus dapat memastikan produk yang diekspor bebas dari deforestasi atau degradasi hutan, dengan cara memetakan dan melacak rantai pasok hingga hulu.
Hal ini menjadi tantangan utama yang dihadapi adalah para petani kecil, yang merupakan tulang punggung industri kelapa sawit.
Petani kecil sering kali kesulitan dalam memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh EUDR, seperti sistem ketelusuran (traceability) dan pencatatan data yang akurat.
"Petani agak gamang, karena selain bisa memproduksi, mereka juga harus melakukan pencatatan dari sisi hasil produksi, dikaitkan dengan data activity-nya. Ini ke depan yang harus ada langkah baru agar pencatatan dilakukan oleh petani," tutur dia.
- Pengembangan Potensi Sawit Masih Terkendala Teknologi dan Isu Lingkungan
- Deforestasi RI Terburuk Kedua di Dunia, 1,18 Juta Hektare Hutan Rusak
Ia menilai, para petani kecil masih enggan melaporkan penelusuran maupun pendataan proses produksi sawit, karena sejumlah hal. Antara lain maraknya penipuan data pribadi yang menyebabkan para petani sulit melaporkan data diri mereka, hingga kendala minim literasi digital.
Oleh karena itu, kata Fauzan, pemerintah serta industri perlu memberikan dukungan lebih dalam bentuk pelatihan, akses teknologi, dan insentif finansial agar petani kecil dapat beradaptasi dengan persyaratan yang ada.
"Nanti arahnya apakah mungkin kita melakukan insentif ke pelaku pengusaha, manakala kita tekan pembiayaan dari traceability tersebut," ungkapnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik sumber yang dilansir kumpulan berita terkini Jernih Berbagi.