Niat Baik dan Cara Baik: Pelajaran Kasus Wadas dan Tuban

“Kenapa maksud baik tidak selalu berguna; Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga” ~ Sajak Pertemuan Mahasiswa, WS. Rendra

NIAT baik, rencana baik harus dilakukan dengan cara-cara yang baik pula. Itulah pelajaran terpenting dari dua kasus yang belakangan ramai mendapat sorotan, yakni konflik Wadas dan liputan tentang penyesalan warga yang menjual tanah mereka untuk proyek Pertamina di Tuban.

Pertanyaan klasik kembali muncul: pilih ekonomi atau lingkungan?

Laporan “Our Common Future” yang diterbitkan tahun 1987 oleh WCED (World Commision on Environment and Development) atau Komisi Bruntland – Perserikatan Bangsa-Bangsa meyakinkan bahwa pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan dan keadilan sosial sebenarnya bisa dipertahankan secara bersamaan.

Rekomendasi berupa konsep Sustainability Development atau pembangunan berkelanjutan yang menekankan bahwa pemenuhan kebutuhan hari ini bisa dilakukan tanpa harus mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.

Rekomendasi yang lahir 35 tahun silam itu kini terasa relevan ketika kita melihat apa yang terjadi di Wadas dan Tuban.

Pertumbuhan Ekonomi, Perlindungan Lingkungan dan Keadilan sosial seharusnya bisa berjalan seiring sejalan.

Pembangunan bendungan dan penambangan, tidak bisa dipungkiri membawa dampak ekonomi.

Tapi niat baik, sekali lagi harus dilakukan dengan cara yang baik, dengan metode yang baik.

Pada titik inilah prinsip Sustainability menjadi relevan sebagai sebuah penunjuk jalan bagaimana menjalankan proyek dengan cara yang lebih bertanggungjawab.

Pemetaan sosial

Dalam konsep sustainability, sebelum proyek dilaksanakan, harus ada pemetaan sosial mengenai para pemangku kepentingan.

Siapa saja pihak yang terlibat dan terkena dampak dari proyek yang akan dijalankan. Juga sejauh mana para pemangku kepentingan dan proyek saling memberi dampak.

Keberlanjutan setiap proyek sangat bergantung pada para pemangku kepentingan. Semua institusi memiliki tanggung jawab kepada para pemangku kepentingan yang nilainya tidak hanya sekadar uang, tapi jauh melebihi nilai kepemilikan para pemegang saham (Cornelissen, 2008).

Ada hubungan yang saling tergantung antara institusi dengan para pemangku kepentingan. Setiap pemangku kepentingan memiliki relevansi masing-masing terhadap proyek dan Institusi.

Sebelum proyek dikerjakan, perlu identifikasi: sejauh mana tingkat keterlibatan mereka, langsung atau tidak langsung, saling memberikan dampak positif atau negatif.

Dalam kasus Wadas, pemilik/pengelola proyek atau share holder adalah pemerintah pusat, melalui sub-ordinat Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Kementerian ATR/BPN.

Sementara pemangku kepentingan atau stake holder, yaitu warga kampung Wadas, warga di luar kampung Wadas dan warga Jawa Tengah secara umum.

Pemetaan ini harus juga dilakukan dengan melibatkan pelaksana pekerjaan dan LSM yang punya kepentingan atau berpotensi terlibat baik mendukung maupun menentang proyek.

Banyak teori dan model pengklasifikasian stake holder yang bisa dipakai, baik menggunakan konsep primer dan sekunder pemangku kepentingan (Clarkson, 1995) atau menggunakan teori kekuasan, legitimasi, urgensi (Mitchell, Agle, Wood, 1997), berdasarkan konsep organisasi, ekonomi dan kelembagaan pemangku kepentingan (Werther & Chandler, 2006) atau berdasarkan langsung atau tidak langsung, generik vs spesifik, sah vs turunan (Fassin, 2009).

Warga kampung Wadas tidaklah tunggal. Bila diklasifikasi dan diidentifikasi segmentasinya: lelaki, perempuan, anak-anak, jarak lokasi tinggal dari lokasi proyek, jenis pekerjaan, pendidikan dst.

Berdasarkan primer atau sekunder, maka akan muncul warga sekitar, kemudian turunannya adalah warga di luar kampung, kemudian organisasi masyarakat dan perusahaan tertentu yang mungkin akan terlibat.

Berdasarkan kekuasaan, legitimasi dan urgensi akan muncul turunan dari warga, misalkan tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh agama, aparatus desa dan sebagainya.

Pemetaan ini harus dibuat matrik untuk menentukan: siapa stake holder utama, turunan, mana yang dominan, mana yang berdampak positif atau negatif terhadap proyek dan sebagainya serta memetakan irisan di antara para pemangku kepentingan.

Kasus Wadas

Bila merujuk pada Sustainable Development Goals (SDGs), ada tiga pilar utama yang bisa menjadi pedoman, yaitu:

Pertama adalah Human Development, indikator tentang Pembangunan Manusia, antara lain pendidikan dan kesehatan.

Kedua, Social Economic Development, indikator yang melekat pada lingkungan yang lebih kecil, seperti ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan untuk pertumbuhan ekonomi sosial.

Ketiga adalah Environmental Development, indikator yang melekat pada lingkungan yang lebih besar, seperti ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan yang baik.

Pilar pertama adalah Pembangunan Manusia, dengan menghormati kemanusiaan (Respect for People. Blackburn 2007).

Pilihan-pilihan kebutuhan yang diambil harus merujuk pada nilai tersebut. Pertanyaan yang harus diajukan: bagaimana proyek ini bisa berkontribusi terhadap peningkatan pendidikan dan kesehatan warga.

Bila timbul hal-hal yang bisa mengganggu kesehatan dan pendidikan, bagaimana cara share holder mengatasinya.

Solusi dan program apa yang akan dibuat dan apa jaminannya bahwa program ini benar akan diimplentasikan.

Pilar kedua, dengan menilai pertumbuhan sosial ekonomi: sejauh mana ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan yang ada saat ini di desa Wadas dan sekitarnya.

Proyek harus berpedoman pada pemanfaatan sumber daya secara bijak demi kesejahteraan masyarakat (Blackburn 2007).

Kalau proyek ini dilakukan, apa dampaknya bagi masing-masing stake holder. Dalam hal ini, pemerintah harus mengusahakan agar proyek penambangan dan proyek waduk dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan sosial bagi seluruh stake holder tanpa terkecuali.

Jangan sampai ada pemangku kepentingan yang ditinggalkan. Semua harus merasakan manfaat.

Pilar ketiga adalah menganalisa dampak lingkungan, dengan acuan menghormati mahluk hidup dan pemanfaat alam yang bijak (Respect for living things & Wise use of natural resources. Blackburn 2007).

Setiap aktivitas penambangan pasti akan mengubah alam. Perlu analisa, apakah ada sumber mata air, hutan, satwa liar, yang akan terdampak bila proyek dikerjakan.

Bila terkena terdampak, rehabilitasi macam apa yang akan dilakukan. Bagaimana agar kualitas lingkungan tetap terjaga dengan baik.

Kelak setelah penambangan selesai, perlu analisa dan kajian reklamasi lahan pascapenambangan.

Langkah selanjutnya adalah membuat peta jalan keberlanjutan: program-program apa saja yang harus dilakukan dalam proyek Wadas, baik terkait pembangunan manusia, sosial ekonomi, lingkungan dan alam.

Peta keberlanjutan menampung jenis program aktivitas, target dan jadwal dalam bulan-per bulan.

Setiap peta keberlanjutan dibuat dalam kurun waktu 5 hingga 10 tahun ke depan dan terus dimonitor, dievaluasi serta diperbaharui.

Semua program harus melibatkan pemangku kepentingan. Rencana ini semua harus disosialisasikan kepada warga dan seluruh stake holders sehingga muncul pemahaman akan manfaat proyek Wadas bagi semua pihak.

Untuk kasus Wadas, kesalahpahaman atas proyek penting nasional ini sudah berlarut-larut, hampir lima tahun.

Melalui Perpres nomor 58 tahun 2017 Pemerintah menetapkan pembangunan Bendungan Bener sebagai Proyek Strategis nasional (PNS).

Pembangunan Bendungan tersebut memerlukan bahan bangunan berupa batu Andesit dari bukit di Desa Wadas, yang masih berada di kecamatan yang sama dengan jarak sekitar 12 km.

Ini adalah jarak terdekat di mana sumber bahan bangunan utama yang bisa didapat untuk pembangunan Bendungan. Namun warga mengkawatirkan akan dampak lingkungan yang terjadi.

Di satu sisi rencana penambangan ini bertujuan untuk membangun Bendungan Bener yang kelak akan mengairi lahan seluas 15.069 hektar dan menyediakan pasokan air baku sebesar 1,60 meter kubik perdetik.

Bendungan ini juga akan menjadi pembangkit listrik dengan menghasilkan daya sebesar 6 megawatt.

Informasi ini tidak tersosialisasi dengan baik, dan kesalahpahaman dibiarkan berlarut-larut hingga akhirnya muncul konflik terakhir.

Bila peta jalan keberanjutan dari proyek ini dilakukan dengan benar menggunakan prinsip-prinsip di atas, maka hal seperti ini tidak perlu terjadi.

Kasus Tuban

Pada awal tahun 2021, publik sempat dihebohkan dengan berita tentang warga di tiga desa Tuban Jawa Timur yang mendadak menjadi miliarder setelah tanahnya dibeli oleh Pertamina.

Warga rata-rata mendapat kompensasi ganti untung senilai Rp 8 miliar dengan jumlah tertinggi mencapai Rp 26 miliar.

Ramai menjadi berita karena warga di ketiga desa beramai-ramai membeli mobil baru. Rekaman truk-truk membawa mobil baru yang dibeli warga ketiga desa itu viral di media sosial.

Belakangan, muncul berita warga menyesal menjual tanah mereka. Uang habis dan tidak punya pekerjaan.

Pihak Pertamina sendiri mengaku sudah memberikan pelatihan pengelolaan keuangan kepada warga.

Terlepas dari itu semua, kasus ini memperlihatkan pelatihan pengelolaan keuangan saja tidak cukup.

Pendampingan menjadi krusial untuk memonitor dan memberi edukasi kepada warga tentang bagaimana cara memanfaatkan uang yang mereka punya untuk berusaha.

Bisa dengan mendorong pendirian koperasi warga untuk memulai usaha bersama dengan pendampingan mentor dan pelatihan keterampilan penunjang usaha bersama. Pendampingan ini penting sebagai bagian dari tanggungjawab share holder.

Mengukur investasi sosial

Setelah semua hal di atas sudah dilaksanakan, maka pada akhirnya pengelola dapat melakukan Social Return on Investment (SROI), yaitu mengukur dampak suatu program sosial. Sejauh mana program-program terlaksana sesuai target.

SROI adalah rangkaian proses dari input, aktivitas, output, outcome dan dampak. Input adalah segala sesuatu yang dilakukan pemangku kepentingan dalam membantu mewujudkan sebuah aktivitas yang memberi nilai tambah pada manusia, lingkungan dan alam.

Output adalah hasil dari suatu kegiatan. Outcomes adalah perubahan yang sedang terjadi terhadap stake holder.

Dari outcome kemudian dapat dinilai impact atau dampak yang terjadi. Dari dampak inilah kita bisa menilai apakah program yang dilakukan sudah mencapai tujuan.

Misalkan dalam kasus Tuban, ada program pengelolaan keuangan dan pendampingan UMKM.

Input adalah keikutsertaan warga, dukungan pengelola, dan segala hal yang digunakan dalam pelatihan dan pendampingan. Aktivitas adalah kegiatan terkait pelatihan.

Output adalah kemampuan warga dan hasil-hasil dari program.

Outcomes adalah perubahan atau peningkatan kemampuan warga.

Impact adalah dampak yang terjadi, apakah warga semakin sejahtera dibanding sebelumnya.

Aspek-aspek ini diukur sebagai bentuk tanggungjawab sosial. Memastikan proyek yang dikerjakan membawa manfaat bagi semua pihak.

Komitmen pembangunan keberlanjutan

September 2000, di New York, Indonesia ikut hadir dan ikut menandatangani Deklarasi Millenium Development Goals.

Bersama 189 negara lainnya, Indonesia berkomitmen mengintegrasikan delapan tujuan MDGs dalam program pembangunan nasional, terutama terkait isu-isu mendasar tentang pemenuhan hak asasi dan kebebasan.

MDGs berakhir tahun 2015 dan dilanjutkan Sustainable Development Goals dengan lima dasar utama: manusia, planet, kesejahteraan, perdamaian dan kemitraan demi mencapai tujuan mulia 2030, yaitu: mengakhiri kemiskinan, mencapai kesetaraan dan mengatasi perubahan Iklim.

Sudah 20 tahun lalu Indonesia mendukung konsep keberlanjutan. Konsep keberlanjutan adalah pengingat penting bagi kita: tujuan yang baik saja tidak cukup. Tujuan baik harus dilaksanakan dengan cara-cara yang baik pula.

Proyek yang penting bagi kepentingan nasional, harus dijalankan dengan penghormatan kepada warga sekitar, memastikan seluruh pihak akan menerima manfaat.

Niat baik, harus dijalankan dengan cara-cara yang baik.

https://nasional.kompas.com/read/2022/02/27/12383111/niat-baik-dan-cara-baik-pelajaran-kasus-wadas-dan-tuban