Jokowi dan Pentingnya Kritik Berbasis Data
20-November-24, 08:15BEBERAPA hari lalu, di Bogor, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta pihak yang mengkritik agar berbasis data, dengan begitu kritik yang dilontarkan menjadi memiliki nilai kontribusi positif dengan menyediakan solusi alternatif bagi kebijakan pemerintah. Tidak asal bunyi.
Kritik tanpa data, seperti halnya informasi palsu (hoaks) sebenarnya sulit untuk dipahami tapi semakin menjadi-jadi khususnya di tahun politik saat ini. Dalam beberapa debat pilkada, kritik tanpa data marak terjadi. Bagi awam yang tak paham, bisa jadi dialektika yang disampaikan masuk akal, meski sesungguhnya menggelikan bahkan menyedihkan.
Banjir kritik tanpa data sejatinya sudah sejak empat dekade lalu diprediksi Alvin Toffler lewat Future Shock. Dalam buku tersebut, Toffler memprediksi hadirnya era di mana terjadi informasi yang berlebihan (information overload).
Kondisi tersebut terjadi saat ini. Dimana tidak ada yang bisa menghambat derasnya arus informasi.
Baca juga : Presiden Jokowi: Kritik Boleh, Cemooh Jangan
Jika kita melihat Indonesia sekitar 15 tahun lalu, sumber informasi yang bisa diakses secara luas masih Radio, TV, dan media cetak. Masa ketika informasi yang dikonsumsi telah melalui proses redaksional yang artinya melalui serangkaian proses jurnalistik untuk menjamin kualitas informasi.
Saat ini, melalui media sosial, semua orang bisa berbagi informasi, baik di lingkaran pertemanannya atau ke khalayak yang lebih luas. Masalah kemudian muncul. Segala jenis informasi beredar, dari tingkat gosip yang tidak bisa dipertanggungjawabkan hingga jurnal akademis.
Kesenjangan tingkat dan akses informasi ini direproduksi menjadi semakin silang sengkarut dengan karakter peredaran media sosial yang sangat in-group. Walau memiliki karakter inklusif, sebenarnya media sosial, dengan metode persebarannya yang sangat in-group, memiliki potensi memperlebar kesenjangan peredaran informasi.
Dengan algoritma yang diterapkan platform media sosial, tentunya karena kepentingan digital marketing, membuat informasi yang beredar di lingkaran kelompok adalah informasi yang ingin dikonsumsi sesuai selera (preferensi) individu maupun kelompok, bukan informasi beragam yang memang perlu dibaca untuk memicu perkembangan wawasan dan keberagaman. Inilah yang semakin memperlebar kesenjangan persebaran informasi.
Premis bahwa pertumbuhan arus informasi akan merangsang pertumbuhan ekonomi menjadi patah karena dua hal.
Pertama, sebagian besar informasi yang beredar tidak memiliki nilai kemanfaatan. Kedua, karena informasi yang beredar di kelompok adalah informasi yang itu-itu saja sesuai preferensinya. Ini menghambat proses inklusivitas informasi, dan memperlebar kesenjangan literasi informasi.
Peran pemerintah
Nah dengan kondisi saat ini bagaimana seharusnya peran pemerintah? Tentu saja kesenjangan informasi ini harus dijembatani. Ini penting dan mendesak tidak hanya karena kita sedang berada di tahun politik, namun ini penting bagi masa depan Indonesia.
Ada tiga hal yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, meningkatkan program literasi informasi. Selain memperbaiki infrastruktur komunikasi hingga ke pelosok melalui program Universal Service Obligation (USO), pemerintah perlu memperkuat program literasi.
Program USO seharusnya tidak hanya untuk membangun atau memperkuat infrastruktur, tetapi juga mendorong kualitas literasi kelompok masyarakat sehingga lebih melek terhadap informasi berkualitas. Tidak hanya melek, namun mampu memilih dan memilah informasi yang berguna.
Kedua, pemerintah harus menyediakan portal dan media yang mudah diakses oleh masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang minim akses media. Tidak melulu fokus pada media online.