Tanoto Foundation Libatkan Masyarakat untuk Cari Solusi Masalah Stunting di Indonesia
20-November-24, 08:00Laporan kumpulan berita terkini dari berbagai media nasional – Grants Manager Tanoto Foundation Fransisca Rina Wulandari memaparkan, pihaknya telah melakukan studi di berbagai wilayah Indonesia untuk mendalami masalah pemberian makan bayi dan anak (PMBA) serta mencari solusi bersama masyarakat.
Adapun beberapa provinsi yang masuk dalam wilayah penelitian antara lain Sumatera Barat, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Maluku.
“Kami ingin melihat perilaku kunci pemberian makan bayi dan anak usia enam sampai 23 bulan serta ibu pada kelompok populasi yang berbeda,” papar Fransisca dalam Web Seminar (Webinar) Hari Gizi Nasional ke-62 bertema “Cegah Stunting Selalu Penting” yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan, Kamis (3/2/2022).
Ia mengatakan, lokasi studi dipilih berdasarkan topografi dan demografi berbeda di seluruh Indonesia untuk mendapatkan data bervariasi dari berbagai daerah.
“Jadi lokasi-lokasinya sendiri ada yang di coastal, ada yang di pedesaan, ada juga yang di pegunungan, dengan jumlah populasi yang bervariasi, sehingga kita bisa mendapat berbagai macam perilaku dari berbagai daerah,” tuturnya.
Fransisca mengatakan, studi terjun langsung ke lapangan menggunakan pendekatan Desain Berbasis Masyarakat (DBM) atau pendekatan yang bertumpu pada gagasan bahwa masyarakat merupakan bagian terpenting yang harus terlibat secara langsung dalam merancang proses perubahan untuk dirinya sendiri.
Pendekatan DBM dimulai dari kegiatan imersi, ketika para fasilitator tinggal bersama dengan keluarga selama beberapa hari untuk melihat perilaku-perilaku kunci yang berkontribusi terhadap stunting dan diakhiri dengan tahap uji coba. Hal ini mencakup solusi yang sudah dirancang bersama masyarakat diimplementasi dan diuji keberhasilannya.
Tanoto Foundation mendapati delapan fakta perilaku-perilaku umum yang dapat berkontribusi terhadap stunting dari berbagai daerah di Indonesia.
1. Asi Eksklusif
Fransisca menjelaskan, Tanoto Foundation menemukan fakta bahwa masih banyak ibu yang menganggap air susu ibu (ASI) sebagai hal sekunder ketika anak sudah mau makan sebelum anak usia enam bulan. ASI juga dianggap tidak bergizi.
“Ibu-ibu juga kadang lebih bangga kalau anaknya bisa makan lebih awal. Dan (ibu-ibu) menganggap itu sebagai perkembangan positif. Padahal belum selesai enam bulan ASI eksklusifnya,” kata Fransisca.
2. Protein Hewani untuk MPASI
Lebih lanjut, Fransisca mengatakan para ibu enggan memilih makanan pendamping ASI (MPASI) yang mengandung protein hewani seperti ikan dan telur. Padahal makan tersebut cenderung terjangkau di dapatkan di beberapa wilayah Indonesia.
Makanan yang mengandung protein hewani seperti ikan dan telur cenderung terjangkau di beberapa wilayah Indonesia tetapi ibu enggan memilihnya sebagai makan pendamping ASI (MPASI).
“Terkadang, mata harian masyarakat di sana (lokasi studi) misalnya adalah nelayan, tetapi sayangnya ikan bukan makanan sehari-sehari mereka. Malah, ikannya dijual. Atau misalnya mereka punya ayam, tetapi telurnya tidak dikonsumsi sehari-hari,” papar Fransisca.
Ia menyampaikan, beberapa orangtua juga ragu memberikan ikan untuk anak mereka karena takut duri pada ikan membahayakan anak.
3. Porsi makan dan makanan kemasan
Hasil studi mendapati ibu-ibu di Indonesia masih kesulitan menghitung berapa porsi makan ideal yang harus dikonsumsi bayi dan anak setiap hari.
Ibu-ibu di Indonesia masih kesulitan menghitung berapa porsi makan ideal yang harus dikonsumsi bayi dan anak setiap hari. Bahkan, pemberian makan hanya dilakukan ketika anak meminta, sehingga cenderung tidak teratur.
Selain itu, kata dia, ibu-ibu muda merasa lebih aman jika memberikan makanan kemasan khusus bayi yang takarannya dinilai sudah jelas dan pas.
“Dan juga menurut mereka (ibu muda) sudah jelas takarannya (makanan kemasan khusus bayi). Jadi, daripada ribet, dikasih saja makanan kemasan,” jelas Fransisca.
4. Kudapan untuk bayi dan balita
Fransisca pun mengatakan, pihaknya mendapati bayi yang masih berusia enam bulan dan bayi di bawah usia lima tahun (balita) kerap diberi kudapan atau snack berupa biskuit, crackers, atau kue, agar tidak rewel.
“(Orangtua) lihat anak-anak lain dikasih snack, ya sudah saya kasih juga deh anak saya, atau kadang-kadang ibu juga merasa dahulu nggak bisa jajan, nah nggak mau anak saya kayak begitu juga, jadi ya sudah deh supaya anak lebih happy, dikasih snack,” kata Fransisca.