Catatan Setahun Perang Rusia Vs Ukraina, di Bawah Ancaman Perang Dunia dan Nuklir

TIGA bulan sebelum Rusia menginvasi Ukraina pada 2022, Direktur CIA dan Duta Besar Amerika Serikat untuk Rusia, William J. Burns / Bill Burns dan John J. Sullivan, bertemu dengan salah satu penasihat "hawkish" Presiden Rusia Vladimir Putin, yaitu Nikolai Petrushev di Moskow.

Pada pertemuan tersebut, Burns menyampaikan bahwa Amerika Serikat mengetahui bahwa Rusia berniat untuk menyerang Ukraina, lalu mengingatkan bahwa negara-negara Barat akan memberlakukan sanksi yang sangat keras dan berat kepada Rusia jika invasi benar-benar ditempuh.

Menurut pengakuan Burns, Petrushev bergeming dan tidak menghiraukan peringatan tersebut, sembari seolah-olah memberi pesan melalui tatapannya kepada Burns dan Sullivan bahwa militer Rusia akan mencapai targetnya sesuai rencana yang telah ditetapkan oleh tim terbatas di Moskow.

Mereaksi respons santai tersebut, CIA kemudian membocorkan rencana Rusia tersebut kepada media New York Times, yang kemudian menurunkan berita tentang adanya penumpukan pasukan Rusia di perbatasan Rusia - Ukraina sekitar dua bulan sebelum serangan berlangsung.

Selain itu, yang lebih penting, Amerika Serikat langsung menginformasikan Kiev perihal rencana serangan Rusia ke Ukraina tersebut, sembari memberikan pelatihan militer darurat untuk pasukan Ukraina, yang ikut menjadi faktor negara itu bisa bertahan sampai hari ini.

Meski terkesan agak gagap, Moskow mereaksi bocoran informasi melalui pemberitaan media tersebut dengan berusaha membangun narasi sendiri bahwa penumpukan pasukan adalah bagian dari latihan yang biasa dilakukan di perbatasan dengan negara lain.

Dan narasi tersebut terbantahkan dengan sendirinya pada bulan Februari tahun lalu di mana invasi benar-benar terjadi.

Tidak terasa, tepat 24 Februari 2023, satu tahun sudah invasi Rusia atas Ukraina. Operasi kecil dan cepat sebagaimana yang direncanakan oleh Kremlin ternyata gagal tercapai.

Ukraina ternyata cukup mampu menandingi narasi yang dibangun oleh Rusia di satu sisi dan membangun solidaritas nasional serta internasional di sisi lain.

Boleh jadi memang karena pembocoran rencana invasi oleh Amerika Serikat di satu sisi dan Ukraina juga mengetahui hal itu di sisi lain, membuat Rusia memutuskan melakukan operasi kecil, yang kemudian gagal mencapai target.

Keputusan atas operasi kecil dengan tenggat waktu pendek memang buah dari reformasi militer Rusia pasca-Uni Soviet runtuh.

Kesatuan pasukan Rusia dipecah-pecah menjadi divisi-divisi kecil, meniru gaya Amerika Serikat, sembari sisi kualitas dan profesionalismenya terus ditingkatkan.

Hasilnya tampak cukup memuaskan ketika Rusia melakukan uji coba di Suriah saat Putin membantu pemimpin Suriah, Bashar Hafez al-Assad mengusir ISIS.

Begitu pula saat Rusia menginvasi Krimea. Putin mengandalkan satuan-satuan kecil, termasuk tentara bayaran. Targetnya ketika itu boleh dikatakan cukup tercapai.

Namun untuk menginvasi Ukraina dengan target wilayah sebesar Donbas dan Donetsk nampaknya butuh strategi yang lebih masif dan kesiapan pasukan yang lebih matang, layaknya Soviet kala menginvasi Afghanistan tahun 1979.

https://www.kompas.com/global/read/2023/02/25/074541270/catatan-setahun-perang-rusia-vs-ukraina-di-bawah-ancaman-perang-dunia-dan