Kecelakaan di Cipularang, antara Human Error dan Bahaya Laten

Laporan kumpulan berita terkini dari berbagai media nasional - Kecelakaan hebat kembali terjadi di Tol Purbaleunyi, tepatnya pada KM 91 arah Jakarta, sekitar pukul 12.30 WIB, Senin (2/9/2019). Berdasarkan kabar terakhir, kecelakaan beruntun tersebut melibatkan 21 kendaraan yang menewaskan delapan orang.

Kecelakaan di ruas tol yang beken dengan nama Cipularang memang bukan yang pertama kali terjadi, terutama pada area Km 90 hingga Km 100. Tapi dari semua kejadian, insiden kali ini salah satu yang paling fatal karena melibatkan puluhan kendaraan yang melintas.

Ragam persepsi bermunculan yang mencoba untuk menafsirkan sebab dari kecelakaan beruntun tersebut. Mulai dari mengaitkan dengan kondisi tipografi jalan yang relatif berkelok dan menurun, permukaan yang tidak rata, hingga licin karena berpasir.

Saat berdiskusi dengan penggiat keselamatan berkendara yang juga pendiri Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) Jusri Pulubuhu, menyebutkan bila kondisi jalan di Cipularang pada Km 90 sampai Km 100 memang cenderung rawan, dan dipastikan penyebab awalnya tabrakan maut tersebut karena adanya faktor human error.

Tribunjabar.id/Ery Chandra Mobil ringsek akibat kecelakaan beruntun di Tol Cipularang Purwakarta, Senin (2/9/2019).

"Perlu diingat, setiap kecelakaan beruntun pastinya terjadi perbedaan tingkat kecepatan antara satu kendaraan dengan kendaraan lain di belakangnya," ujar Jusri kepada salah satu media nasional, sesuai yang dikompilasi kumpulan berita terkini Senin (2/9/2019).

Faktor ketidaksiapan dari pengendara di belakang bisa disebabkan banyak hal, paling utama dikarenakan pengendara yang tidak mampu menjaga jarak.

Selain itu, bisa juga dikarenakan masalah kebiasaan berkendara yang salah, seperti menetralkan posisi tuas transmisi karena kebetulan ruas tersebut sedikit landai.

"Contoh terjadi perlambatan mendadak, seperti mengerem tiba-tiba dan lain sebagainya yang membuat kendaraan di belakang tidak siap dan berakhir dengan terjadinya kecelakaan tadi, ini kata kuncinya," kata Jusri.

Jusri menjelaskan dirinya sempat melakukan investigasi di lokasi yang sama beberapa tahun lalu, karena memang kecelakaan di area tersebut cukup sering terjadi bahkan bisa dibilang menjadi hal yang rutin.

Dari hasil evaluasi tersebut, menurut Jusri rata-rata kendaraan yang melintas selalu berada pada kecepatan tinggi, baik dari mobil pribadi, bus, sampai truk sekalipun.

Untuk kendaran bus dan truk, menurut Jusri, banyak sopir yang sengaja menetralkan tuas transmisi demi alasan efesiensi bahan bakar.

Tanpa disadari apa yang dilakukan sopir tersebut sangat berakibat fatal, pasalnya dengan bobot yang besar dan hanya mengandalkan deselerasi dari rem sudah tentu tidak akan bisa mengalahkan hukum fisika gaya gravitasi.

"Mobil kecil seperti kendaraan pribadi kebanyakan justru tancap gas, kalau yang truk alih-alih ingin irit maka transmisi dinetralkan, jadi kendaraan itu jalan saja cuma mengandalkan rem, harusnya saat turunan itu tuas transmisi tetap digunakan untuk menekan laju kendaraan," kata Jusri.

"Dari hasil investigasi kecil-kecilan saya bersama tim lima tahun lalu sangat banyak human error tersebut, jadi jangan dikaitkan dengan mistis, tapi meski memang di sana sangat kental. Fokus pada masalah human error itu lebih tepat, cari faktor why-nya, kan sudah dijelaskan kalau mulainya itu akibat sebuah bus yang terpelosok, lalu berbuntut panjang," ucap dia.

Akumulasi dari human error tersebut, menurut Jusri sejalan dengan faktor kontributor yang mana maksudnya mengarah pada kondisi lingkungan di lokasi kejadian. Seperti kondisi jalan yang menurun yang membuat laju kendaraan bisa dipastikan cukup tinggi.

https://otomotif.kompas.com/read/2019/09/03/082200315/kecelakaan-di-cipularang-antara-human-error-dan-bahaya-laten