Inisiatif Sekolah Rakyat: Antara Pengentasan Kemiskinan dan Kompleksitas Sistem Pendidikan Nasional
Polemik Sekolah Rakyat: Upaya Pemerintah dalam Mengatasi Kesenjangan Pendidikan
Pemerintah berencana meluncurkan program Sekolah Rakyat sebagai upaya percepatan pengentasan kemiskinan melalui pendidikan. Inisiatif ini, yang berada di bawah naungan Kementerian Sosial, menargetkan 1.000 peserta didik dari keluarga kurang mampu dan menjanjikan pembiayaan penuh, termasuk seragam, makan, dan akomodasi asrama. Dengan anggaran Rp 100 miliar per satuan pendidikan dan direncanakan mulai Juli 2025, program ini memicu perdebatan mengenai efektivitas dan implikasinya terhadap sistem pendidikan yang ada.
Program Sekolah Rakyat ini seolah menjembatani ideologi sosialisme dan kapitalisme dalam sektor pendidikan. Negara hadir dengan jaminan pembiayaan penuh, namun disisi lain, sistem pendidikan juga melibatkan partisipasi swasta. Pertanyaan mendasar muncul: mampukah model ini benar-benar menjadi solusi efektif untuk mengatasi kemiskinan, atau justru menambah kompleksitas yang sudah ada?
Paradigma Pendidikan di Indonesia: Antara Mandat Konstitusi dan Realitas Kapitalisme
Secara konstitusi, negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin hak pendidikan bagi seluruh warga negara, dengan alokasi anggaran minimal 20%. Namun, realitasnya menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat, termasuk sektor swasta, sangat signifikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal ini tercermin dari banyaknya sekolah swasta, mulai dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi, yang beroperasi di Indonesia. Pemerintah memberikan insentif melalui Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP), namun hal ini dinilai belum cukup untuk menutup kesenjangan biaya operasional ideal yang seharusnya ditanggung oleh satuan pendidikan.
Di tingkat perguruan tinggi, sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) juga mencerminkan pengaruh kapitalisme, di mana kemampuan finansial siswa sangat menentukan akses mereka terhadap program studi tertentu. Siswa dengan kemampuan ekonomi yang lebih baik memiliki keleluasaan untuk memilih program studi yang diminati, sementara siswa dari keluarga kurang mampu seringkali terbatas pada pilihan yang lebih terjangkau.
Akibatnya, pendidikan seringkali gagal menjadi alat yang efektif untuk mengentaskan kemiskinan. Keterbatasan aksesibilitas bagi kalangan kurang mampu menciptakan persaingan yang tidak seimbang, di mana mereka kalah jauh dengan mereka yang memiliki sumber daya yang lebih baik.
Kompleksitas Pengelolaan dan Potensi Benturan
Otonomi daerah telah mendelegasikan pengelolaan pendidikan dasar dan menengah kepada pemerintah kabupaten/kota dan provinsi, sementara pendidikan tinggi tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Selain Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kementerian Agama serta kementerian lain yang menyelenggarakan pendidikan kedinasan juga memiliki peran dalam sistem pendidikan nasional.
Kehadiran Sekolah Rakyat di bawah Kementerian Sosial berpotensi menambah kompleksitas pengelolaan pendidikan. Meskipun bertujuan mulia untuk membantu siswa kurang mampu, program ini dapat menimbulkan beberapa masalah:
- Benturan dengan Sekolah Swasta: Sekolah Rakyat yang memberikan pendidikan gratis dapat mengurangi jumlah siswa di sekolah swasta yang memiliki segmen pasar yang sama, yaitu kalangan menengah ke bawah.
- Kesenjangan Mutu: Fasilitas dan sumber daya di Sekolah Rakyat mungkin tidak sebanding dengan sekolah swasta yang mengenakan biaya tinggi, sehingga berpotensi menciptakan kesenjangan mutu lulusan.
- Akses ke Perguruan Tinggi: Belum ada jaminan bahwa lulusan Sekolah Rakyat akan secara otomatis dapat melanjutkan ke perguruan tinggi secara gratis.
- Kemiskinan Struktural: Pendidikan gratis di tingkat dasar dan menengah tidak menjamin akses ke perguruan tinggi karena biaya yang mahal. Keterbatasan beasiswa dan kompetensi yang dianggap tidak optimal dapat menghambat lulusan Sekolah Rakyat untuk melanjutkan studi.
- Privilese dan Eksklusivisme: Kehadiran Sekolah Rakyat dapat menciptakan "kasta" sekolah baru, yang bertentangan dengan prinsip inklusif yang menekankan kesetaraan akses pendidikan bagi semua kalangan.
- Ego Sektoral: Pendirian Sekolah Rakyat oleh Kementerian Sosial, tanpa melibatkan Kementerian Pendidikan atau pemerintah daerah, mencerminkan ego sektoral yang dapat menghambat koordinasi dan pencapaian standar nasional pendidikan.
Revitalisasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai Solusi
Alih-alih mendirikan Sekolah Rakyat, pemerintah dapat memperkuat program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan menyerahkan pengelolaan program pengentasan kemiskinan melalui pendidikan kepada pemerintah daerah. Sumber daya yang ada dapat dialokasikan untuk menambah BOSP khusus bagi siswa kurang mampu, sehingga biaya pendidikan mereka ditanggung sepenuhnya oleh negara. Sistem penerimaan murid baru tetap mengikuti regulasi yang sudah ada, sehingga tidak membingungkan masyarakat dan stakeholder pendidikan.
MBS perlu direvitalisasi agar satuan pendidikan benar-benar dikelola secara profesional, tanpa intervensi politik. Kebijakan politik pemerintah terhadap pendidikan sebaiknya difokuskan pada ranah makro, seperti kurikulum dan standar nasional pendidikan, dan bukan pada program sekolah yang spesifik.
Dalam sistem pendidikan yang masih didominasi oleh corak kapitalisme, sulit bagi negara untuk mengatur seluruh aspek program sekolah, terutama karena kontribusi pendanaan dari masyarakat yang signifikan. Solusi jangka panjang mungkin melibatkan perubahan ideologi negara menuju sosialisme, namun hal ini pun tidak menjamin penghapusan masalah kemiskinan.