Menakar Efektivitas Minyak Goreng Rakyat

Jakarta -

Sekitar dua tahun yang lalu, di sejumlah daerah terjadi antrean panjang masyarakat membeli minyak goreng (migor) dengan harga murah, atau lebih tepatnya sesuai harga eceran tertinggi (HET) yang dipatok pemerintah. Selain itu, rak-rak migor kemasan di supermarket terpampang kosong, dan kalau toh ada jumlah dan ragamnya sangat terbatas. Fenomena pasar seperti ini mudah ditebak, pasokan migor di pasar ritel belum bisa memenuhi kebutuhan konsumen. Walhasil, kala itu masyarakat terpaksa membeli migor dengan harga yang lebih mahal, lantaran terjadi kelangkaan barang. Misalnya, untuk migor kemasan sederhana dijual dengan harga Rp 17 ribuan/liter di ritel modern. Sementara, di pasar tradisional lebih mahal lagi, yakni berkisar Rp 18 ribuan -2 0 ribuan/liter. Padahal pemerintah membandrol HET seharga Rp 14 ribu/liter.

Urgensi MGRUntuk memastikan fenomema di atas tidak terulang lagi, tampaknya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) menata ulang peraturan perdagangan minyak goreng melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.18/2024 tentang minyak goreng sawit kemasan dan tata kelola minyak goreng rakyat. Permendag ini merupakan penyempurnaan dari regulasi sebelumnya, yakni Permendag No.49/2022. Selanjutnya untuk mengimplementasikan regulasi tersebut, pemerintah mengadakan program Minyak Goreng Rakyat (MGR). Ini merupakan program pemerintah dalam rangka penyediaan minyak goreng kepada masyarakat, yang diperoleh dari program pemenuhan kebutuhan minyak goreng domestik (Domestic Market Obligation/DMO). Selain itu MGR merupakan minyak goreng yang digunakan dalam program MGR yang dijual dengan harga di bawah, atau sama dengan HET yang ditetapkan.

Menurut Kemendag (2024), Permendag tersebut mengatur skema DMO MGR yang dulu berbentuk curah atau kemasan, kini diubah menjadi hanya dalam bentuk Minyakita. Regulasi ini mulai berlaku pada 14 Agustus 2024. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan pasokan Minyakita sebagai strategi dalam menjaga stabilitas harga minyak goreng, dan pengendalian inflasi.

Minyakita kini menjadi alternatif minyak goreng kemasan yang banyak diminati masyarakat, selain minyak goreng dengan kategori premium. Adapun yang dimaksud Minyakita adalah merek dagang untuk minyak goreng yang dimiliki oleh Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Pertanyaan untuk mengulik persoalan ini lebih jauh adalah apakah urgensinya program MGR digulirkan pemerintah? Dengan program ini adakah jaminan masyarakat bisa membeli minyak goreng sesuai dengan harga HET, dan harga bisa stabil di sekitar HET? Setidaknya ada empat urgensi mengapa pemerintah menggulirkan program MGR (Kemendag, 2024). Pertama, menyesuaikan besaran DMO dan HET. Sebab, salah satu upaya mendorong realisasi DMO karena pasar ekspor produk turunan kelapa sawit yang menurun serta menyesuaikan harga Crude Palm Oil (CPO) yang mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan sebelumnya.

Kedua, dengan diterbitkannya Permendag No 18/2024 diharapkan akan mendorong masyarakat menggunakan minyak goreng dalam kemasan selain minyak goreng curah. Pertimbangannya, minyak goreng kemasan lebih terjamin kualitas, kandungan gizi, keamanan, dan kehalalannya dibandingkan dengan minyak goreng curah. Minyak goreng kemasan juga lebih mudah didistribusikan, minim product loss, bebas kontaminasi, dan dapat disimpan dalam waktu relatif lama.

Ketiga, mengoptimalkan pendistribusian minyak goreng rakyat untuk memastikan tepat sasaran, mengurangi potensi penyalahgunaan, atau penyelewengan oleh pihak yang dapat merugikan masyarakat serta ketercapaian harga jual di masing-masing level distribusi dan harga eceran tertinggi.

Keempat, penyederhanaan regulasi minyak goreng dalam satu peraturan untuk memberikan kepastian hukum bagi keberlangsungan usaha dan menjadi panduan pengawasan peredaran minyak goreng rakyat di lapangan.

Tantangan ProgramSejatinya pemerintah bermaksud baik, menekan harga migor. Namun, faktaknya kerap HET memicu gangguan pasar (market distortion) migor. Maknanya, mekanisme pasar migor mengalami gangguan yang disebabkan adanya rekayasa pasokan (false supply).

Hal itu sebagai respons penetapan harga tunggal yang dinilai tidak menguntungkan bagi produsen/distributor. Merujuk kajian empiris, rekayasa pasokan bertujuan mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.

Rekayasa pasokan migor itu diduga dijalankkan melalui praktik kartel migor. Hal ini sejalan dengan hasil kajian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang menemukan sejumlah indikasi praktik kartel di balik kelangkaan dan melambungnya harga migor.

Pertama, momentum kenaikan harga CPO. Sejumlah produsen migor memanfaatkan kenaikan harga CPO internasional sebagai momentum menaikkan harga migor domestik, sesuai dengan harga keekonomian. Padahal, sebagian produsen memiliki pabrik migor yang terintegrasi secara vertikal dengan perkebunan sawit. Produsen migor tipe ini menguasai pasar dari hulu ke hilir. Seharusnya tidak serta merta menaikkan harga migor, karena mendapatkan pasokan kelapa sawit/CPO dari perkebunannya sendiri.

Kedua, permintaan migor bersifat in-elastis. Produsen berpandangan, sekalipun harga migor mahal, karena menyesuaikan dengan harga internasional, tetap saja laku dijual di pasar migor domestik. Sebab, permintaan migor tidak bergantung sepenuhnya pada pergerakan harga, melainkan pada desakan kebutuhan masyarakat.

Ketiga, dugaan kapasitas migor yang ditimbun diberbagai daerah terbilang fantastis. Maraknya penimbunan migor kemasan di berbagai daerah menimbulkan kecurigaan yang sangat kuat, bahwa aksi ini dilakukan oleh kekuatan kartel migor.

Keempat, struktur pasar migor cenderung oligopolistik. Pangsa pasar migor sebagian besar dikuasai empat produsen besar migor. Struktur pasar seperti ini tentu mudah saja bagi produsen mengontrol harga melalui kartel.

Dengan demikian, masyarakat berharap regulasi minyak goreng sawit kemasan dan tata kelola minyak goreng rakyat itu berjalan efektif. Maknanya, aturan itu bermaksud baik, tetapi juga tidak menimbulkan gangguan pasokan minyak goreng di pasar domestik. Serta regulasi tersebut tidak memantik munculnya persaingan tidak sehat, yang justru memberikan akses kartel minyak goreng lebih leluasa.Imron Rosyadi dosen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta

https://news.detik.com/kolom/d-7548020/menakar-efektivitas-minyak-goreng-rakyat