Ini Sebabnya Banyak Orang Percaya Teori Konspirasi, Kamu Juga?
20-November-24, 02:56Menurut detikers, apa itu kebenaran? Kalau kamu berpikir bahwa kebenaran adalah relatif, ketika dua atau lebih individu bisa memandang sesuatu secara berbeda, maka kamu bisa jadi mudah terbawa konspirasi.
Ini bukan pernyataan omong kosong, melainkan berdasarkan studi yang dilakukan Julia Aspernas, seorang mahasiswa S3 dari Department of Behavioral Sciences and Learning di Linkoping University, Swedia.
Dalam penelitiannya, ia menuliskan bahwa mereka yang percaya kebenaran itu subjektif dan individual akan cenderung percaya teori konspirasi. Mereka akan berpegang erat pada teori tersebut dan bila kenyataan berkata lain, mereka tidak akan peduli.
"Menurutku, mereka yang menunjukkan pandangan relatif atas kebenaran memiliki maksud yang baik. Mereka percaya bahwa penting bagi semua orang untuk didengar suaranya. Namun, penemuan ini menunjukkan bahwa pandangan seperti itu bisa menjadi berbahaya," ujar Aspernas seperti dilansir detikINET dari New York Post, Kamis (14/9/2023).
Penemuan yang Aspernas maksud adalah yang ia rangkum di Journal of Research in Personality, berjudul "Misperceptions in a Post-truth World: Effects of Subjectivism and Cultural Relativism on Bulls - - t Receptivity and Conspiracist Ideation."
Ia dan dua peneliti lainnya melakukan survei terhadap 1.400 orang di Swedia dan Inggris tentang pandangan mereka atas apa itu kebenaran. Mereka kemudian diminta untuk mengambil sikap terhadap berbagai teori konspirasi dan menilai sejumlah kalimat yang tidak masuk akal. Setelah itu, para peneliti akan menilai kemampuan bernalar analitis, orientasi politik, usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan dari para subyek penelitian.
Hasilnya, mereka yang percaya kebenaran adalah subjektif dan individual akan lebih mudah percaya teori konspirasi. Selain itu, mereka akan keras kepala terhadap hal yang mereka yakini. Orang-orang ini cenderung menemukan pesan-pesan mendalam dan bermakna di dalam obrolan yang tidak masuk akal.
Untuk mereka yang memiliki sistem kepercayaan kultural, akan cenderung mudah menerima omong kosong dari seseorang yang berusaha membujuk atau memberi kesan tanpa memedulikan yang benar atau salah.
Menurut para peneliti, penemuan ini relevan dengan situasi pemilu. "Hasil penelitian ini berguna saat kita mendengarkan debat politik, seperti perdebatan mengenai sekolah. Orang-orang mungkin memiliki pendapat yang berbeda terkait fakta, tapi di balik itu ada perbedaan pendapat yang mendasar tentang bagaimana dunia ada dan bekerja," tulis Aspernas dan dua peneliti lainnya, Arvid Erlandsson dan Artur Nilsson.
Di Indonesia, penemuan ini sepertinya relevan dengan Pemilu tahun depan karena di saat kita menyaksikan debat para calon presiden, kita mungkin memiliki pandangan yang berbeda tentang yang mana itu kebenaran.
Para calon presidennya sendiri bisa jadi bingung dengan yang mana kebenaran yang sebenarnya sehingga mereka hanya bisa berargumen, menuangkan pikiran mereka, dan berusaha meyakinkan masyarakat bahwa mereka memegang kebenaran yang sebenarnya.
*Artikel ini ditulis oleh Khalisha Fitri, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.