Survei: 47 Persen Warga RI Punya Kebiasaan Emotional Eating

Jakarta, Dimuat dalam media nasional yang dirangkum kumpulan berita terkini --

Hampir setengah orang Indonesia menjadikan ritual makan sebagai kompensasi emosi . Hal ini menggambarkan betapa kebiasaan emotional eating marak dialami banyak masyarakat.

Hasil ini ditemukan dalam sebuah survei bertajuk "Mindful Eating Study" yang diinisiasi oleh Health Collaborative Center (HCC).

"[Temuannya] yang emotional eater 47 persen. Artinya, kalau ketemu 10 orang, 4-5 orang pasti ada yang perilakunya emotional eating," kata peneliti utama riset Ray Wagiu Basrowi dalam temu media di restoran Beautika, Jakarta Selatan, Rabu (24/1).

Riset dilakukan lewat survei daring dengan metode random sampling rapid-response. Sebanyak 1.158 responden dari 20 provinsi terlibat dengan usia antara 20-59 tahun. Mereka diminta menjawab tiga paket kuesioner dari Mindful Eater Questionnaire (Frandson, 2009), Emotional Eater Questionnaire (Garaulet, 2013), dan PPS Questionnaire for Perceived Stress Scale.

Dari total responden, sebanyak 56 persen sedang melakukan diet seperti diet keto, diet intermittent, dan diet rendah lemak.

Hasilnya, sebanyak 53 persen responden adalah mindful eater, sedang 47 persen adalah emotional eater.

Ditemukan juga, sebanyak 49 responden dengan emotional eating berusia kurang dari 40 tahun. Sementara mereka para mindful eater berusia lebih tua antara 40-60 tahun.

Ray menjelaskan, mindful eating merupakan model perilaku makan yang mampu mengelola kebiasaan makan dengan baik. Orang makan dengan penuh kesadaran bahwa makanan dikonsumsi untuk membawa dampak kesehatan. Oleh karenanya, makan tidak buru-buru dan fokus.

"[Orang yang punya] kebiasaan makan penuh perhatian (mindful) itu ternyata status kesehatannya jauh lebih bagus, fisik, dan mental seimbang, bisa menurunkan risiko penyakit metabolik," ujar Ray.

Sebaliknya, emotional eating merupakan makan tapi tanpa kesadaran akan nutrisi atau dampaknya buat kesehatan. Seseorang, misalnya, merasakan stres pekerjaan lalu mencari makanan untuk membuatnya lebih tenang. Tak hanya makan besar, ngemil sembari mengerjakan pekerjaan pun termasuk perilaku emotional eating.

Emotional eating dan stres

Emotional eating punya kaitan kuat dengan stres. Temuan survei menunjukkan, 51 persen emotional eaters berisiko dua kali lipat mengalami stres.

Risiko ini rupanya lebih tinggi pada orang yang sedang menjalani diet. Sebanyak 57 persen responden yang sedang diet dan emotional eater berisiko mengalami stres 2,5 kali lipat.

"Sebanyak 73 persen yang mindful eating tiga kali lebih besar bisa menghindari stres," imbuhnya

Stres, lanjut Ray, bisa berpengaruh pada proses pencernaan makanan. Anda mungkin sudah memilih makanan sehat dan bernutrisi, tapi proses pencernaan yang kurang optimal membuat nutrisi tidak terserap sempurna.

"Tubuh mencerna makanan perlu bermacam-macam enzim. Nah, itu [enzim] keluar kurang optimal kalau stres. Stres berarti hormon kortisol keluar. Kortisol itu jahat kalau keluar di waktu yang tidak tepat. Kortisol keluar, enzim enggak keluar dengan optimal," jelasnya.

Selain itu, bakteri baik pada usus besar bisa keluar dan bekerja optimal dalam suasana usus yang asam. Zat yang memicu suasana asam pada usus bisa keluar maksimal saat mindful eating, bukan emotional eating.

https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20240125061147-255-1054077/survei-47-persen-warga-ri-punya-kebiasaan-emotional-eating