MK Kabulkan Gugatan Emil Dardak-Bima Arya Cs soal Masa Jabatan yang Terpotong
18-November-24, 19:50Laporan kumpulan berita terkini dari berbagai media nasional - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan 7 kepala daerah yang keberatan masa jabatannya dipaksa selesai lebih cepat berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Masa jabatan mereka berakhir lebih cepat karena adanya Pilkada Serentak 2024 pada bulan November.
Tujuh kepala daerah itu dipilih pada Pilkada 2018 dan dilantik pada 2019. Namun, UU Pilkada menentukan akhir masa jabatan mereka pada 2023.
Jika demikian, maka mereka tak genap 5 tahun menjabat.
Ketujuh kepala daerah dimaksud yakni Gubernur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil E. Dardak, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Wakil Wali Kota Bogor Didie A. Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten A. Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, dan Wali Kota Tarakan Khairul.
Ketua MK Suhartoyo menyatakan, Pasal 201 Ayat (5) UU Pilkada yang digugat para kepala daerah itu inkonstitusional bersyarat.
"Sepanjang tidak dimaknai: gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur Bupati dan Wakil Bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 memegang masa jabatan selama 5 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024," kata Suhartoyo dalam amar Putusan MK Nomor 143/PUU-XXI/2023, Kamis (21/12/2023).
Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan, Pasal 201 Ayat (5) UU Pilkada secara khusus dan norma transisi dalam ketentuan Pasal 201 UU Pilkada secara keseluruhan masih menyisakan persoalan bagi kepada daerah/wakil kepala daerah yang terpilih dalam Pilkada 2018 tetapi baru dapat dilantik pada 2019 karena menunggu kepala daerah sebelumnya mengakhiri masa jabatan pada 2019.
Padahal, kata Saldi, Pasal 201 Ayat (4) UU Pilkada secara eksplisit menyatakan adanya kepala daerah/wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2019 tidak diatur secara tersendiri dalam kaitannya dengan Pasal 162 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Pilkada.
Akibatnya, kepala daerah/wakil kepala daerah yang baru dilantik pada 2019 seperti dipaksa mengikuti masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah yang dilantik pada 2018.
Padahal, para kepala daerah yang dilantik pada 2019 ini dilantik karena masa jabatan kepala daerah sebelumnya baru berakhir pada 2019.
Atas pertimbangan ini, MK menilai terdapat kerugian konstitusional yang dialami 7 kepala daerah itu berupa konsekuensi pemotongan masa jabatan.
Oleh karena itu, mereka yang dilantik pada 2019 tetap dapat menjabat sampai 2024, maksimal sebulan sebelum Pilkada Serentak 2024.
MK tidak bisa mengabulkan permintaan agar akhir masa jabatan 7 kepala daerah ini kurang dari sebulan sebelum Pilkada Serentak 2024.
“Sebab, dibutuhkan waktu yang cukup untuk menunjuk pejabat kepala daerah agar tidak terjadi kekosongan jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah yang berdasarkan penalaran yang wajar dan dipandang cukup," kata Saldi.