Anwar Usman Tak Ikut Putus Gugatan Aturan Usia Calon Kepala Daerah
17-November-24, 17:40Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman tidak akan terlibat dalam memeriksa dan memutus gugatan perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang uji materi syarat usia yang termaktub dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang tentang Pilkada .
Hal itu disampaikan Hakim Konstitusi Saldi Isra usai mendengarkan pengajuan hak ingkar dari para pemohon agar Anwar Usman tidak dilibatkan. Para pemohon dalam perkara ini yakni dua mahasiswa, yaitu Fahrur Rozi dari UIN Syarif Hidayatullah dan Anthony Lee dari Podomoro University.
Para pemohon menilai syarat aturan minimal usia calon kepala daerah secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada pencalonan anak Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep jika maju di Pilkada 2024. Sementara itu, Kaesang merupakan keponakan dari Anwar Usman.
"Rapat pemusyawaratan hakim (RPH) beberapa waktu yang lalu itu sudah mendengar langsung dari Yang Mulia Anwar Usman, jadi ini bukan diminta siapa-siapa, beliau tidak akan ikut memutus yang berkaitan dengan syarat usia," kata Saldi dalam sidang agenda perbaikan permohonan di MK, Jakarta, Kamis (25/7).
Saldi pun menilai permohonan hak ingkar para pemohon tidak relevan lagi. Sebab, sebelum hak ingkar itu dimohonkan Anwar Usman sudah menyatakan tak akan ikut memutus.
"Beliau (Anwar Usman) sudah declare di RPH bahwa tidak akan ikut memutus. Jadi artinya yang Saudara mintakan untuk provisi [hak ingkar] menjadi tidak relevan lagi," ujarnya.
Sebelumnya, Syarat minimal usia calon kepala daerah (cakada) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta A Fahrur Rozi dan mahasiswa Podomoro University Anthony Lee.
Permohonan uji materiil Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota itu telah dilayangkan oleh mereka pada 11 Juni 2024. Hal itu telah dikonfirmasi oleh Juru Bicara MK Fajar Laksono.
"Benar sudah diterima (permohonannya) pada 11 Juni," kata Fajar kepada CNNIndonesia.com, Rabu (19/7).
Pasal 7 dalam UU No 10 Tahun 2016 yang dimohonkan uji materiil itu berbunyi:
"Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (f). berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, serta 25 (dua puluh lima) untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;" ujarnya.
Dalam permohonannya, Fahrur dan Anthony ingin MK mempertegas titik waktu syarat minimal usia itu diterapkan.
Pasalnya, Mahkamah Agung (MA) belum lama ini mengeluarkan putusan agar KPU mengubah aturan terkait syarat minimal usia cakada dalam Peraturan KPU. MK ingin syarat usia itu berlaku saat tahapan cakada dilantik, bukan saat pencalonan.
Dua mahasiswa ini ingin aturan syarat minimal usia cakada diterapkan saat tahapan pencalonan, bukan saat pelantikan. Namun, Pasal 7 dalam UU Pilkada tidak mengaturnya.
Mereka menilai Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 bertentangan dengan original intent (maksud tekstual/asli) UU No 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada.
"Yang mana maksud dari Pasal 7 huruf e yang memuat ketentuan usia bagi calon kepala daerah adalah untuk calon yang akan berkontestasi, bukan untuk calon yang akan dilantik karena memenangkan Pilkada," jelas mereka dalam permohonannya.
Selain itu, mereka menilai Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 telah menggeser posisi MA dari negative norm (pembatal norma) menjadi positife norm (pembuat norma) yang secara kelembagaan bukanlah kewenangan MA, melainkan kewenangan pembuat legislatif.
Menurut mereka, keberadaan dua tasir yang berbeda terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 telah melanggar hak pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
"Terjadinya pertentangan antara substansi pasal Pasal 7 Ayat (1) dan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 pasca adanya putusan Nomor 23 P/HUM/2024 nyata-nyata mengandung inskonsistensi yang melahirkan interpretasi ganda, dan menyebabkan keragu-raguan dalam pelaksanaanya," ucap mereka.