Tren Calon Tunggal Pilkada 2024 Diprediksi Meningkat, Degradasi Demokrasi?
17-November-24, 16:48Laporan kumpulan berita terkini dari berbagai media nasional - Fenomena calon tunggal melawan kotak kosong semakin meningkat dari pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2015 sampai 2024.
Hal itu terungkap dari data yang dimiliki Visi Nusantara Maju (Vinus) Indonesia. Pada Pilkada 2015, ada tiga pasangan calon (paslon) tunggal. Lalu, pada 2017, ada sembilan paslon tunggal.
Kemudian, pada Pilkada 2018, ada 13 paslon tunggal. Hingga pada Pilkada 2024, diperkirakan bakal ada 25 paslon tunggal.
“Artinya, paslon tunggal terus meningkat dari pilkada ke pilkada,” kata pendiri Vinus Indonesia Yusfitriadi dalam diskusi dengan tema “Kotak Kosong Merajalela, Kaum Oligarki Pestapora”, dikutip dari kanal YouTube Vinus Forum, Jumat (9/8/2024).
Dia pun berpandangan bahwa munculnya fenomena paslon tunggal tersebut lebih karena ada paksaan, bukan karena natural atau tidak ada calon yang mungkin diusung oleh partai politik (parpol).
"Indikasi pemaksanaanya, memaksa parpol untuk bergabung dengan kekuatan besar, agar tidak mendorong figur walau figur itu secara elektabilitas mumpuni. Ini merusak tatanan demokrasi. Sama dengan set back demokrasi 20 tahun ke belakang,” ujarnya.
Yusfitriadi mengatakan, indikasi pemaksaan adanya satu paslon tersebut terlihat pada Pilkada di Sumatera Utara (Sumut) dan kemungkinan bisa terjadi di Jawa Barat dan Jakarta.
Oleh karena itu, dia berpandangan bahwa demokrasi dirusak bukan dari luar. Melainkan, dirusak dari dalam oleh parpol.
“Ketika itu terjadi, demokrasi bukan dirusak dari luar, tetapi oleh parpol dan kekuasaan yang tidak bertanggung jawab pada kemajuan demokrasi,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPRR) Rendi NS Umboh. Menurut dia, fenomena kotak kosong yang meningkat sebagai bentuk degradasi demokrasi.
Meskipun, dia menyebut, tidak salah dengan adanya satu paslon dalam Pilkada karena diatur dalam undang-undang. Tetapi, kemmunculannya juga diatur harus natural.
Rendi lantas menyinggung soal kongkalikong parpol di balik kemunculan satu paslon yang tidak natural dalam Pilkada 2024. Dengan tujuan, kontestasi pada 2029.
“Pilkada serentak 2024 menentukan hasil Pemilu 2029. Pengalaman yang ada, ternyata menggerakan struktur birokrasi di tingkat provinsi, kabupate/kota itu sangat mujarab menenangkan pemilu,” ujar Rendi.
“Untuk memenangkan Pemilu 2029, kepentingan saat ini adalah kepala daerahnya dimenangkan. Oleh karena itu, sekarang parpol memetakan daerah-daerah mana, berbagi saja asal tetap solid. Sehingga, kami berpikir kemungkinan kotak kosong naik secara signifikan,” katanya lagi.
Demokrasi tidak langsung
Sementara itu, Direktur Monitoring Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jojo Rohi mengkhawatirkan sistem demokrasi langsung berubah menjadi demokrasi tidak langsung dengan munculnya banyak calon tunggal.
“Kalau kita prediksikan calon tunggal dari pemilu ke pemilu makin naik jumlahnya, maka arah politik demokrasi langsung kita itu kayaknya bisa menemukan arugmentasi atau momentum untuk bisa mengabaikan demokrasi langsung,” kata Jojo Rohi.
Artinya, menurut Jojo Rohi, kepala daerah akan dipilih oleh DPRD tingkat provinsi atau kabupaten/kota. Sebab, pemerintah bisa berpikir banyak calon tunggal yang muncul sehingga untuk menghemat ongkos politik maka pemilihan akan dikembalikan ke DPRD.
Dia lantas menyinggung soal peran pemilih untuk mengkritisi kemunculan fenomena calon tunggal pada Pilkada 2024.
Untuk informasi, pemungutan suara Pilkada 2024 akan diselenggarakan pada 27 November 2024 untuk 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota se-Indonesia (minus DI Yogyakarta dan 6 kota/kabupaten di DKI Jakarta).
Kemudian, pendaftaran calon kepala daerah dibuka pada 27 Agustus 2024 dan penetapan pasangan calon dilakukan per 22 September 2024.
Masa kampanye Pilkada 2024 berlangsung selama 60 hari, terhitung sejak 25 September sampai 23 November 2024. Lalu, masa tenang akan berlangsung pada 24-26 November 2024.