Sikap "Hawkish" The Fed dan Upaya BI Pertahankan Nilai Rupiah
17-November-24, 10:24AMERIKA Serikat (AS) tengah mengalami tingkat inflasi tertinggi selama empat dekade terakhir. Ekonomi negara itu terhuyung-huyung ke jurang resesi.
Bank Sentral AS, yaitu The Fed, secara agresif kini mengerek suku bunganya pada taraf yang tak pernah terjadi sejak pertengahan 1990-an. Ini sebagai upaya untuk meredam lonjakan inflasi, yang naik 9,1 persen (year on year/yoy) pada Juni lalu. Angka itu merupakan yang tertinggi sejak 1981.
Sejauh ini, suku bunga yang sudah naik sebanyak empat kali tampaknya tidak banyak membantu dalam membendung kenaikan harga.
Di tengah ketatnya pasar tenaga kerja, tingginya pengangguran, rantai pasokan yang kacau, dan triliunan dolar bantuan sosial yang digelontorkan pemerintahan Biden ke tangan konsumen AS selama pandemi, inflasi tetap tinggi.
Upaya BI agar rupiah tak tertekan
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) memutuskan dalam Rapat Dewan Gubernur pada 22-23 Agustus untuk menaikkan suku bunga acuan pada 3,75 persen. Suku bunga BI baru dinaikkan lagi sejak Juni 2021.
Tekanan terhadap rupiah meningkat karena investor portofolio global menyesuaikan diri dengan likuiditas yang lebih ketat dan menyeimbangkan kembali eksposur mereka di negara-negara berkembang, yang dianggap berisiko terhadap arus keluar modal yang cepat.
BI mencatat bahwa arus modal yang keluar dari Indonesia mencapai Rp 5,28 triliun pada tanggal 22 hingga 25 Agustus, sedangkan obligasi pemerintah non-residen telah terjual senilai Rp 124,42 triliun.
Derita rupiah tidak hanya oleh perbedaan suku bunga yang lebih sempit, tetapi juga dari kelanjutan penguatan dolar AS di pasar.
Hal itu karena sikap hawkish The Fed memicu aliran modal ke pasar keuangan AS yang diatur dengan baik dan sangat likuid, yang dianggap sebagai tempat berlindung yang aman oleh investor selama gejolak global.
Disinyalir greenback (dolar) AS naik hampir 20 persen terhadap sekeranjang mata uang utama, dibanding kursnya per Juli 2021. Begitu kuatnya dolar sehingga euro terdorong melandai ke paritas untuk pertama kalinya.
Pound Inggris, yen Jepang dan won Korea Selatan telah merugi dua digit terhadap dolar AS. Namun impaknya pada rupiah lebih ringan dibandingkan mata uang lainnya, meski laju depresiasi rupiah semakin cepat.
Rentang depresiasi terpantau 4,9 persen sepanjang tahun hingga Juli dan telah terdepresiasi 3,7 persen sejak April.
Situasi ini menjadi rumit tatkala transaksi berjalan Indonesia telah mencatat surplus selama tiga kuartal terakhir dan surplus transaksi berjalan biasanya memberikan sentimen positif terhadap rupiah.
Bila ditinjau secara historis, ledakan komoditas suatu negara biasanya disertai dengan apresiasi mata uangnya. Sebuah anomali yang nyata dengan fakta lapangan ketika Indonesia mengalami ekspor komoditas, rupiah terus melemah.
Jika BI tidak bertindak sementara The Fed melanjutkan kebijakan pengetatan pada paruh kedua tahun ini, rupiah akan mengalami tekanan dan aliran modal keluar akan meningkat.
Sebenarnya dalam menghadapi pelemahan rupiah, BI dihadapkan pada pilihan sulit. Pertama, menaikkan suku bunga untuk mempertahankan rupiah dengan risiko merusak pemulihan ekonomi.
Kedua, membelanjakan cadangan devisa di pasar untuk menopang rupiah. Atau, ketiga, hanya berdiam diri dan membiarkan pasar berjalan.
Ketiga pilihan itu masing-masing memiliki konsekuensi. BI harus mengalkulasi pilihan mana yang memiliki risiko dan biaya terkecil.
Suku bunga adalah penentu penting dari nilai tukar. Ini berlaku sama untuk semua negara, di mana mata uang suatu negara dengan suku bunga yang lebih tinggi harus lebih kuat.
Pasalnya, aset negara itu menghasilkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi dan karenanya memikat lebih banyak arus masuk modal. Ini membantu dalam menjelaskan mengapa dolar bernasib sangat baik terhadap mata uang utama lainnya.
Namun, kenaikan suku bunga saat ini bukanlah pilihan bagi BI dalam menghadapi pelemahan rupiah. Kenaikan suku bunga sebagai instrumen kebijakan hanya akan dilakukan ketika kenaikan inflasi inti meluas dan mulai menggoyahkan perekonomian.
Namun, pada prinsipnya, bank sentral perlu mendahului inflasi sebelum terjadi akselerasi. Alasannya lebih pada ekspektasi inflasi bisa terpenuhi dengan sendirinya sebelum bank sentral bertindak.
Dengan demikian, jika BI hanya menunggu sampai inflasi yang sebenarnya memburuk tanpa adanya tindakan, nantinya semua akan terlambat. Pada saat itu, langkah korektif sederhana mungkin tidak cukup.
BI harus bertindak cepat
Mengambil langkah-langkah pencegahan untuk mengendalikan inflasi bukanlah anti-pertumbuhan, karena akan menghindari perlunya pengetatan yang lebih ekstrem di kemudian hari.
Dengan bertindak lebih awal, BI dapat menjaga dan melindungi ekspansi ekonomi yang sedang berlangsung dengan mencegah destabilisasi di masa depan akibat tekanan inflasi.
Namun, alih-alih menaikkan suku bunga, BI lebih memilih menghadapi pelemahan rupiah dengan intervensi pasar.
Pada rapat terakhir, Dewan Gubernur BI memandang stabilisasi nilai tukar rupiah sebagai bagian dari menahan inflasi dan memutuskan untuk memperkuat operasi pasar dan intervensi di pasar valuta asing, meskipun hal ini akan berdampak pada cadangan devisa.
Bagi Indonesia, cadangan devisa meluncur ke bawah pada angka 147 miliar dolar pada September 2021, menjadi 139 miliar dolar pada Maret 2022, dan turun lagi menjadi 136 miliar dolar pada Juni 2022.
Pada kuartal pertama, cadangan devisa turun 5,8 miliar dolar, dan neraca pembayaran berakhir dengan total defisit 1,6 miliar dolar. Secara teori, defisit neraca pembayaran harus sesuai dengan penurunan cadangan devisa.
Jika penurunan cadangan lebih besar dari defisit, maka selisihnya adalah porsi cadangan yang digunakan BI untuk operasi pasarnya sebagai “preemptive strike” untuk mencegah jatuhnya rupiah.
Setelah mencatat surplus Rp 73,6 triliun (4,9 miliar) pada Juni, anggaran negara diproyeksikan mencatat defisit yang membawa kebutuhan pembiayaan utang yang lebih tinggi. Di bawah tekanan pengetatan moneter eksternal, kenaikan BI7DRR menjadi harapan terakhir pemerintah.
Sebabnya tak pelak bisa memperburuk defisit melalui biaya pembayaran utang yang lebih tinggi. Jadi, BI kemungkinan akan condong ke arah perluasan operasi pasar untuk memperkuat rupiah, meski hal ini berisiko menggerus cadangan devisa.