Menyoroti "Name Calling" Dalam Politik Kita

POLITIK kita hari ini, tidak terlepas dari hingar-bingar penggunaan pelabelan (name-caling) dari dan untuk politisi.

Presiden Joko Widodo, misalnya, kerap disebut dengan diksi “planga-plongo”, “otoriter”, “komunis” dan banyak julukan lain, dari lawan-lawan politik yang disematkan padanya.

Terbaru, Jokowi disebut sebagai “bajingan tolol” oleh Rocky Gerung, seorang analis yang kerap menjadi kritikus utama berbagai program dan kebijakan presiden.

Pada konteks lain, merespons perilaku politik yang dimainkan oleh Surya Paloh beserta partai Nasdem dan Anies Baswedan, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kapasitasnya sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat memproduksi istilah “musang berbulu domba” untuk menjelaskan perilaku mantan “rekan koalisinya” itu.

Istilah “Musang berbulu Domba” diartikan SBY dalam pengantarnya membuka rapat majelis tinggi partai, yaitu “di depan bersikap baik, tapi saat lemah dan lengah, akan dicaplok dan dimakan habis”.

Sebelum SBY memproduksi name calling tersebut, Sekjen PD, Teuku Riefky Hasya, menyebut kedua kelompok itu sebagai “pengkhianat”, yang kemudian diikuti dengan reproduksi secara masif oleh elite dan kader Partai Demokrat untuk menyerang Surya Paloh, Anies Baswedan, serta Partai Nasdem, terkait dengan perilaku politik mereka.

Produksi dan reproduksi istilah untuk disematkan kepada politisi tertentu kerap terjadi sebagai bagian dari propaganda politik.

Pada setiap musim menjelang kontestasi demokrasi, pelabelan-pelabelan itu hampir pasti terjadi, bahkan kerap dengan tensi yang tinggi serta bertendensi menyerang personal.

Steiner (2011) mendefinisikan name caliing sebagai pemberian label kepada seseorang dengan tendensi negatif dan menghina.

Name calling (Sengani, 2018) merujuk pada tindakan memberikan pesan dari pemberi nama kepada penerimanya.

Hal ini mengandung maksud bahwa ada wacana di balik pemberian nama oleh seorang politisi, disesuaikan dengan konteks nama tersebut.

Sebagai teknik propaganda politik, name calling kerap digunakan untuk mengolok-olok, menyerang personal, men-down grade mental, mendegradasi moral, serta menjatuhkan citra lawan politik mereka.

Penggunaan teknik propaganda ini dimaksudkan agar lawan politik mendapatkan persepsi yang buruk, sehingga tidak dipercaya untuk meraih atau mempertahankan kekuasaannya.

Propaganda merupakan teknik penyampaian pesan yang mana telah direncanakan, disusun sedemikian mungkin agar efektif memengaruhi pandangan, sikap, dan perilaku orang lain.

Horald D. Laswell dalam karyanya Propaganda Technique in The World War (1927) menyatakan bahwa propaganda berfungsi mengontrol opini publik agar sesuai dengan yang diinginkan propagandis, dan name calling adalah salah satu pilihan strategi komunikasinya.

Jamaknya, name calling terjadi antara para politisi, dalam kapasitas mereka sebagai rival pada kontestasi politik.

Saat masuk masa-masa kampanye, name calling kerap diproduksi dalam jumlah yang lebih besar dibanding kondisi normal. Pasalnya pada masa kampanye, masing-masing kandidat saling menyadari bahwa mereka telah berada dalam “ring tinju”, bersiap untuk bertarung, demi meraih kemenangan.

Untuk tujuan itu, mereka harus memainkan strategi mengalahkan lawannya dengan segera. Pilihan strateginya tentu saja berbeda-beda, baik yang positif maupun negatif. Salah satu pilihan strategi yang kerap dilakukan adalah name-calling.

https://nasional.kompas.com/read/2023/09/21/06000061/menyoroti-name-calling-dalam-politik-kita