Janji Sesat Kandidat dan Harapan Keliru Warga
17-November-24, 03:39BUKAN hanya politik uang, praktik demokrasi kita juga dicemari dengan janji (penulis lebih setuju memakai diksi agenda kerja) sesat kandidat dan harapan keliru warga.
Demi mendulang suara, bahkan ada kandidat yang berjanji ‘bangun jembatan di daerah yang tak ada sungainya’.
Sisi lain, menyadari suaranya dibutuhkan dan menganggap kandidat adalah segalanya, warga kadang meminta mereka ‘bangun gunung es di daerah yang panas’.
Dari fenomena ini kita tahu bahwa politik dipandang sebatas komoditas/dagangan. Ini adalah permasalahan kolektif kita, khususnya kandidat dan warga.
Supaya demokrasi tidak semakin rusak, kita perlu bahu-membahu mengubah pola pikir ini dengan cara membangun budaya politik warga (civic culture) yang baru demi praktik politik yang dewasa dan bertanggung jawab ke depan.
Janji sesat kandidat
Momen Pemilu kita begitu bising dengan janji-janji sesat para kandidat. Demi memikat hati pemilih, tak sedikit janji sesumbar yang diutarakan, bahkan seolah sudah jadi template para calon legislatif (caleg).
Dua teratas biasanya bangun jalan aspal sekian ratus meter dan bayar uang sekolah anak—tentu masih banyak bentuk janji serupa lainnya: menurunkan harga sembako, memberi uang tiket wisata, memberi sumbangan ke tempat ibadah, dan lainnya.
Jika ditelaah, janji mainstream sejenis ini setidaknya bermasalah dalam tiga (3) hal. Pertama, dari sisi tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) anggota legislatif (caleg).
Tupoksi mereka adalah mengawasi jalannya pemerintahan, membuat regulasi, dan menyetujui anggaran.
Pertanyaannya, bangun jalan atau bayar uang sekolah anak (serta janji sejenis lainnya) itu ada di tupoksi anggota legislatif bagian yang mana? Tidak ada di ketiganya.
Mengeksekusi kebijakan adalah wewenang eksekutif, bukan legislatif. Mencampuradukkan tupoksi lembaga eksekutif dan lembaga legislatif jelas keliru dan kacau.
Dalam Trias Politica, demokrasi mengenal pendistribusian kekuasaan (distribution of power) antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Antar-lembaga bertugas saling mengawasi, bukan saling bertukar tupoksi.
Ada pengecualian dalam fungsi tertentu, misal untuk pembuatan regulasi (undang-undang). Eksekutif bisa mengusulkan ke legislatif.
Bisa saling memberi masukan, tapi keputusan tetap ada di lembaga yang tupoksi utamanya adalah fungsi tersebut—dalam konteks ini adalah legislatif.
Kedua, dari sisi sifat janji tersebut; merupakan janji pribadi atau publik. Janji kedua—membayar uang sekolah anak dan janji sejenisnya—adalah janji pribadi antara kandidat dan pemilih, bukan publik/masyarakat luas.