Perpaduan Otokrasi dan Demokrasi
17-November-24, 00:46“Ketidakadilan di mana pun terjadinya, adalah ancaman terhadap keadilan di mana-mana”.
PENGGALAN kalimat itu adalah isi surat yang paling bersejarah ditulis oleh Martin Luther King Jr. Sepucuk surat ini berisi seruan untuk mengambil bagian dalam melawan ketidakadilan.
Ketidakadilan akan selalu dimulai dengan cara melawan hukum atau melahirkan hukum baru yang tidak adil. Hukum tidak lebih sebagai instrumen kekuasaan yang berdayaguna melanggengkan status quo.
Sebelum revolusi Melati (Jasmine Revolution) yang melanda negara-negara Afrika Utara dan Timur Tengah, rezim berkuasa memberlakukan hukum darurat untuk membenarkan tindakan antidemokrasi.
Di Tunisia, Zine El-Abidin Ben Ali yang berkuasa sejak 1987 akhirnya digulingkan pada 14 Januari 2011. Sebulan kemudian, rezim Hosni Mubarak di Mesir juga digulingkan oleh rakyatnya setelah berkuasa sejak 1981.
Apa yang terjadi di Tunisia dan Mesir menunjukan betapa kekuasaan akan memperpanjang status quo —dengan melawan hukum dan membuat hukum baru.
Praktik semacam itu selalu dibarengi dengan upaya-upaya pengangkangan hukum dan demokrasi.
Di Tunisia dan Mesir —bukannya tanpa pemilu, rezim yang berkuasa sukses mengkooptasi instrumen-instrumen pemilu sehingga memungkinkan mereka berkuasa kembali.
Hal serupa juga terjadi pada rezim orde baru, Soeharto. Hukum, demokrasi dan pemilu nyaris mati di bawah moncong senjata. Periode pemilu lima tahunan diselenggarakan dengan intimidasi dan teror.
Tak heran Golkar yang menjadi pendukung utama Soeharto, menduduki mayoritas kursi yang memungkinkan Soeharto terpilih berulang kali di parlemen.
Bayang-bayang Otokrasi
Kendati reformasi telah berlangsung sejak 1998 silam, namun bayang-bayang otokrasi tak seutuhnya lenyap di bumi Indonesia.
Sistem yang berlaku di bawah “panji agung” demokrasi justru meniup kembali roh otokrasi dalam jelmaan hukum.
Jika sebelumnya hukum membatasi otokrasi, preseden belakangan menunjukan betapa sempurnanya instrumen hukum menjadi stimulus otokrasi. Praktik semacam ini tentunya menjadi anomali ketika dihadapkan dengan model demokrasi.
Di beberapa negara demokrasi modern, muncul praktik kekuasaan lebih baru, yakni autocratic legalism. Praktik ini merujuk pada penguasa yang memanfaatkan daulat rakyat untuk mengangkangi prinsip-prinsip konstitusionalisme melalui cara-cara culas, tetapi berlindung atas nama hukum.
Di negara otoriter, kekuasaan tidak dijalankan oleh hukum. Bahkan jika pun ada hukumnya, maka tindakan penguasa bagaimana pun lalimnya, harus dilegitimasi oleh hukum.