Menguak Biang Kerok Harga Tiket Pesawat RI Termahal Kedua di Dunia

Lantas, apa sebenarnya yang membuat harga tiket pesawat jadi termahal kedua di dunia?

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita berpendapat empat faktor yang disampaikan pemerintah memang menjadi beberapa penyebab tingginya harga tiket pesawat di Indonesia.

Namun, menurutnya, masih ada beberapa penyebab lain yang tak kalah penting. Contohnya, oligopoli di transportasi udara untuk pasar domestik.

"Faktanya memang rute penerbangan domestik hanya dikuasai oleh dua perusahaan besar, yang menjelma menjadi beberapa airlines," tutur Ronny kepada CNNIndonesia.com, Rabu (7/8).

"Kondisi oligopoli ini cenderung menyebabkan perlombaan ke atas (race to top) soal harga, bukan malah berlomba ke bawah (race to the bottom), karena pasar hanya dikuasai oleh dua pemain besar," jelas dia lebih lanjut.

Di samping itu, tambahnya, pelemahan mata uang rupiah juga yang cukup tajam juga menjadi salah satu biang kerok melambungnya harga tiket pesawat belakangan ini.

Ronny menuturkan pelemahan mata uang rupiah menekan bisnis penerbangan. Sebab, perusahaan harus membayar lessor, bunga utang dan utang, dan berbagai biaya lainnya dengan dolar AS. Sedangkan perusahaan menjual tiket rata-rata dalam bentuk rupiah.

Sehingga, pelemahan rupiah atau penguatan dolar AS sangat membebani margin keuntungan perusahaan. Pasalnya, rupiah yang dikumpulkan pada akhirnya harus dikonversikan ke dalam dolar AS.

Ronny juga menduga masalah kepentingan aktor politik di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) penerbangan dan perusahaan swasta juga bisa jadi salah satu penyebab tiket pesawat mahal.

"Konstelasi oligopoli di sektor penerbangan tentu tidak terjadi begitu saja. Ada kekuatan ekonomi politik yang membiarkan situasi seperti itu," tegas dia.

Ronny pun berpendapat opsi menghilangkan dan memangkas pajak tiket pesawat tentu menghadirkan risiko bagi pemerintah. Menurutnya, penghapusan pajak tiket pesawat memiliki risiko fiskal terhadap pendapatan negara.

"Negera akan kehilangan pemasukan dari pajak tiket tentunya. Sehingga opsi tersebut sangat tergantung kepada political will dari pemerintah yang belakangan sedang pusing juga menghadapi potensi pengurangan penerimaan negara," ucap Ronny.

Terkait harga avtur yang tinggi, Ronny menilai hal tersebut sudah ada hitungannya tersendiri. Menurutnya, harga minyak dunia yang masih tinggi dan dolar AS yang terus menguat akan membuat pemerintah berpikir panjang untuk menurunkannya.

"Jika dipaksa turun, maka avtur ujungnya harus disubsidi. Otomatis, mau tak mau, pemerintah akan semakin tertekan secara fiskal," jelasnya.

Evaluasi Tarif Batas

Sementara itu, pengamat penerbangan Gatot Raharjo membenarkan rekomendasi yang diusulkan oleh Kemenhub untuk menurunkan harga tiket pesawat. Namun, ia menilai masih ada hal yang perlu dilakukan di ranah Kemenhub sendiri, bukan di K/L lain.

Menurutnya, seharusnya yang bisa dilakukan Kemenhub dalam jangka pendek adalah mengevaluasi TBA-TBB, baik besarannya maupun formulasi dan pengenaannya, yaitu bukan berdasarkan jarak saja, namun block on-block off.

"Dan harusnya dibedakan antara tarif untuk maskapai full service, menengah dan no frills/LCC. Jadi harusnya jangka pendek, bukan jangka menengah," jelas dia.

Hal lain yang perlu dilakukan Kemenhub menurutnya adalah mengevaluasi iklim bisnis dengan memeriksa pasar monopolistik yang ada saat ini, yakni terkait kepemilikan maskapai dan pengaturan slot penerbangan.

Gatot berpendapat menangani pasar yang monopoli ini sangat penting. Sebab, jika semua dibenahi tapi pasarnya masih monopolistik, kemungkinan maskapai masih akan menerapkan harga tinggi karena tidak ada pesaing.

"Dan kalau pasarnya monopolistik, investor juga tidak mau masuk. Jadi semua yang dilakukan kementerian lain bisa jadi tidak berguna," ungkapnya.

Terkait avtur, Gatot menilai sudah seharusnya ada provider lain selain Pertamina. Namun, katanya, mekanismenya juga harus diperbaiki sehingga terjadi persaingan yang sehat.

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20240808063343-92-1130545/menguak-biang-kerok-harga-tiket-pesawat-ri-termahal-kedua-di-dunia/2