Bongkar Pasang Ambang Batas Parlemen
16-November-24, 19:37MAHKAMAH Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023 membangun argumentasi hukum yang cukup berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya.
Judicial review yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini mempersoalkan besaran ambang batas (Parliamentary Treshold) 4 persen bagi partai politik untuk lolos ke parlemen.
Ketentuan itu diatur dalam pasal 414 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU 7/2017).
Perludem mendalilkan ketentuan pasal 414 ayat 1 UU 7/2017 bertentangan dengan sistem pemilu proporsional. Banyaknya suara rakyat yang terbuang akibat tidak bisa dikonversi ke kursi DPR dianggap telah mereduksi makna dari kedaulatan rakyat.
Dalam putusan-putusan sebelumnya yang menyangkut pengujian Parliamentary Threshold (PT), MK sepenuhnya menyerahkan perubahan model itu pada pilihan politik hukum pembentuk UU. Seperti putusan Nomor 3/PUU-VII/2009; putusan Nomor 52/PUU-X/2012; putusan Nomor 51/PUU-X/2012; dan putusan Nomor 56/PUU-XI/2012.
Secara konsisten dalam semua putusan itu, MK menolak terlibat jauh pada wilayah teknis perihal pengaturan batasan minimal persentase ideal PT karena merupakan kewenangan DPR dan presiden.
Sedikit berbeda dari putusan terakhir yang memberi kesan upaya soft-koreksi MK atas putusan-putusan sebelumnya.
Dalam putusan terakhir ini, MK tidak saja memberikan rambu-rambu, tetapi juga secara tidak langsung mengoreksi pemberlakuan PT yang dinilai tidak efektif mendorong penyederhanaan partai politik.
Perubahan model ambang batas
Sebelum lebih jauh, kita urai kembali dinamika perubahan model dan perubahan ketentuan besaran ambang batas yang pernah berlaku pascatransisi politik 1999.
Sebelum dikenal istilah ambang batas parlemen (parliamentray threshold), berlaku model ambang batas pemilihan (electoral threshold), sebagai syarat minimal perolehan suara bagi partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilu pada pemilu berikutnya.
Ketentuan ET yang berlaku sejak pemilu 1999 dan 2004 kemudian disempurnakan dengan model PT yang mulai berlaku pada pemilu 2009.
Pasal 202 ayat 1 UU 10/2008 (sebagai rujukan pemilu DPR 2009) menyebutkan ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional.
Sementara pada Pemilu 2014, berdasarkan Pasal 208 UU 8/2012, persentase ambang batas parlemen dinaikan menjadi sebesar 3,5 persen.
Terakhir ini, ketentuan ambang batas parlemen yang digunakan pada pemilu 2019 dan 2024 merujuk pada pasal 414 ayat 1 UU 7/2017, dengan persentase ambang batas parlemen sebesar 4 persen.
Dalam perkembangan dan pengaturannya, antara ET dan PT merupakan dua hal berbeda. ET adalah syarat perolehan suara yang harus dipenuhi partai politik peserta pemilu untuk dapat menjadi peserta pemilu berikutnya.
Sederhanya, ET merupakan proses verifikasi partai politik peserta pemilu untuk dapat ditetapkan sebagai peserta pemilu pada pemilu berikutnya.
Sementara PT adalah syarat minimal perolehan suara partai politik untuk dapat memiliki kursi di DPR.
Dalam UU 7/2017 ketentuan verifikasi diatur dengan ketentuan yang terpisah dari PT. Bahkan masih dimungkinkan bagi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR untuk dapat menjadi peserta pemilu pada pemilu berikutnya dengan menjalani tahapan verifikasi administratif dan faktual.
Baik electoral threshold (ET) maupun parliamentary threshold (PT) dalam perkembangannya selalu mengalami kenaikan persentase.