Cacat Moral Anwar Usman dan Gibran Rakabuming
16-November-24, 19:31MAHKAMAH Konstitusi (MK) menjadi pusat perhatian, bukan karena yurisprudensinya, melainkan karena kisah dramatis yang melibatkan pelanggaran etika di tingkat tertinggi, yang berpotensi mengaitkan prinsip-prinsip keadilan dengan benang merah ambisi politik dan hubungan kekeluargaan.
Di tengah-tengah narasi yang sedang berlangsung ini, yakni Anwar Usman, mantan Ketua MK, dan Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo dan putra Presiden Joko Widodo.
Kedua tokoh ini terikat ikatan darah dan pertemuan kepentingan telah memunculkan momok cacat moral dalam tatanan politik Indonesia.
Pencopotan Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua MK karena pelanggaran etik yang berat menimbulkan pertanyaan tentang kelanjutan pengabdiannya sebagai hakim di MK.
Partisipasinya dalam kasus penting yang melonggarkan persyaratan usia pencalonan presiden-wakil presiden - langkah yang secara langsung menguntungkan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka - telah dikritik sebagai tindakan nepotis dan mengindikasikan adanya konflik kepentingan.
Putusan MK pada pertengahan Oktober lalu, yang memungkinkan Gibran untuk mengikuti pemilihan presiden yang dijadwalkan pada 14 Februari mendatang meskipun usianya masih di bawah batas usia 40 tahun, mengisyaratkan adanya upaya membentuk warisan politik.
Tindakan-tindakan seperti itu tidak hanya membahayakan posisi etis Anwar Usman, tetapi juga mengancam inti dari integritas peradilan di Indonesia, yang menunjukkan bahwa masalahnya mungkin bersifat sistemik.
Sentimen publik di Indonesia, setelah keputusan MK dan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Anwar Usman, merupakan kekuatan besar yang dapat memengaruhi arah politik Indonesia.
Dalam negara demokrasi, pengadilan opini publik sering kali memiliki konsekuensi yang sama besarnya dengan keputusan yang dijatuhkan di pengadilan hukum.
Rasa kekecewaan yang nyata dapat meresap ke dalam diri para pemilih, yang mengarah pada ketidakterlibatan mereka dalam proses politik.
Ketika para pemilih percaya bahwa timbangan keadilan berpihak pada elite, hasilnya bukan hanya sikap apatis tetapi juga penarikan diri dari demokrasi partisipatoris, yang mengancam tatanan sistem demokrasi di negara tersebut.
Dampak dari pelanggaran etika seperti itu sangat besar. Lembaga peradilan yang dikompromikan oleh kepentingan pribadi tidak dapat berdiri sebagai penengah keadilan; lembaga ini menjadi tidak berdaya dalam menghadapi sinisme publik dan mengikis landasan demokrasi.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah menjatuhkan sanksi pemecatan terhadap Anwar dari jabatannya sebagai ketua MK.Namun, tanggapan ini tampaknya tidak memadai jika dibandingkan dengan beratnya pelanggaran etika yang terjadi.
Konsekuensi dari pelanggaran etika yang dilakukan Anwar Usman memiliki banyak aspek. Di tingkat individu, hal ini merusak legitimasi putusannya masa lalu dan masa depan.