Dampak Perubahan Iklim terhadap Pertambangan Indonesia

IKLIM merupakan faktor yang sangat penting dalam industri pertambangan. Kondisi iklim yang berkaitan dengan curah hujan, panas ekstrem, angin dan pola banjir sangat berpengaruh kepada operasional pertambangan, integritas dari infrastruktur pertambangan dan keselamatan serta kesehatan kerja.

Berdasarkan Assessment Report tahun 2023 yang diterbitkan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change.), emisi gas rumah kaca akan menyebabkan peningkatan temperatur global pada kisaran 2,2–3,5 derajat celcius tahun 2099.

Setiap peningkatan temperatur global akan meningkatkan berbagai bahaya yang terjadi secara bersamaan.

Selain itu, natural disaster and extreme weather dan Failure of climate change adaptation menduduki peringkat 2 dan 5 dalam top global risk berdasarkan data yang dikeluarkan oleh World Economic Forum 2023.

Kondisi yang diakibatkan perubahan iklim dapat mengancam pekerja tambang, keutuhan struktur tambang yang dapat berakibat tanah longsor, integritas dari bendungan tailing dan juga keutuhan dari lahan yang sudah di-reklamasi sehingga dapat ter-eskalasi menjadi permasalahan lingkungan lebih besar lagi.

Kualitas air dapat terpengaruh dengan terjadinya kebocoran dari fasilitas penyimpan bijih dan pabrik pemrosesan akibat banjir yang disebabkan oleh tingginya curah hujan.

Pencemaran yang terjadi dapat disebabkan terbawanya bijih tambang yang memiliki konsentrasi tinggi ke daerah perairan dan mengakibatkan pencemaran dan turunnya kualitas lingkungan seperti yang sudah teramati di Queensland (Australia) dan Finlandia.

Namun demikian, di samping tekanan tersebut di atas, muncul juga berbagai kesempatan dalam melakukan perbaikan-perbaikan yang dapat meningkatkan nilai jual dan produksi sekaligus memberikan nilai tambah dalam upaya mitigasi perubahan iklim.

Dengan bergeraknya dunia menuju penggunaan energi terbarukan, kebutuhan akan mineral sebagai bahan utama baterai juga akan semakin meningkat di antaranya: aluminium, tembaga, lithium, cobalt, nikel, cadmium dan logam tanah jarang.

Berdasarkan data yang dikumpulkan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mineral logam (Ni, Cu, Au, Sn), terlihat trend produksi yang mulai menurun di mana komoditas ini sangat dibutuhkan dalam transisi energi menuju energi baru dan terbarukan.

Di Indonesia, faktor cuaca sangat memengaruhi kinerja produksi pertambangan. Berdasarkan data yang dikumpulkan Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), produksi batu bara yang berada di bawah target pemerintah, yaitu 663 juta ton disebabkan adanya cuaca ekstrem.

Total curah hujan di Provinsi Sumatera Selatan sebagai salah satu sumber batu bara yang cukup signifikan di Indonesia pada tahun 2022 adalah sebesar 3250.2 mm, yang meningkat dari tahun 2021 sebesar 2598.2 mm, 2020 sebesar 2628.2 mm dan tahun 2019 sebesar 2915 mm.

Hal ini sangat berpengaruh pada kemampuan produksi dari segi operasional tambang yang berisiko tinggi.

Contoh dampak cuaca ekstrem lain adalah banjir dan tanah longsor akibat curah hujan yang tinggi di area tambang PT Freeport Indonesia pada Februari 2023 dan kandasnya Kapal Isap Produksi (KIP) PT Timah karena gelombang tinggi pada 2021.

Studi dampak perubahan iklim dilakukan di negara-negara Nordik pada 2022 terhadap pertambangan di Swedia, Finlandia, dan Norwegia yang beroperasi tahun 2019.

Studi yang dilakukan berdasarkan laporan tahunan laporan keberlanjutan (sustainability report) ini menunjukkan tiga tipe respons yang dianalisis dalam studi ini meliputi:

  • Mitigasi: aksi yang dilakukan oleh industri dalam mencegah perubahan iklim. Hal ini mencakup upaya-upaya penurunan emisi, efisiensi dalam penggunaan energi, dan penanaman tumbuhan penyerap karbon.
  • Respons terhadap transition risk yang meliputi upaya advokasi, partisipasi dalam penetapan kebijakan dan diversifikasi hasil tambang sebagai respons dari pasar yang menuntut produk rendah karbon.
  • Adaptasi antisipatif mencakup perencanaan dan design infrastruktur yang mempertimbangkan dampak perubahan iklim.
  • Adaptasi reaktif mencakup perubahan mode operasional, pembangunan infrastruktur dan prosedur untuk mencegah dampak perubahan iklim terhadap operasional tambang.

Hasil studi menunjukkan bahwa jenis adaptasi masih terfokus dalam upaya mitigasi yang dampaknya baru dirasakan dalam jangka panjang. Sementara upaya adaptasi terhadap perubahan iklim yang dirasakan saat ini masih minimal.

Respons terhadap perubahan konteks kebijakan iklim sebagian besar masih berupa pelaporan emisi, partisipasi dalam emission trading sebagai bagian dari usaha adaptasi.

Studi lain dengan cakupan lebih besar dilakukan tahun 2022 terhadap 37 perusahaan tambang terbesar di dunia untuk melihat kecenderungan industri pertambangan dalam merespons perubahan iklim.

Hal ini dilakukan dengan pendekatan political economic dengan asumsi bahwa faktor ini merupakan pendorong yang signifikan di mana investor memegang peranan penting.

Tata kelola penggunaan air (water governance) dan risk assessment merupakan hal yang paling banyak dilakukan sebagai bagian dari institutional respons untuk mengatasi dampak perubahan iklim.

Namun demikian, 18 dari 37 perusahaan belum meng-adopsi jenis respons apa pun. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan masih berfokus pada aksi mitigasi atau bahkan belum memasukkan perubahan iklim di dalam business process-nya.

Bagaimana dengan tambang-tambang di Indonesia? Sebagai negara tropis yang sangat rentan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrem, Indonesia juga membutuhkan upaya adaptasi selain dari aksi mitigasi yang selama ini dilakukan.

Sekitar 2.104 IUP (Izin Usaha Pertambangan), peleburan dan PLTU di Indonesia saat ini berada di lokasi dengan risiko banjir, sementara 744 berada di lokasi rawan longsor.

Di tengah gencarnya aksi penurunan emisi gas rumah kaca untuk me-mitigasi perubahan iklim, diperlukan juga rencana aksi untuk ber-adaptasi terhadap perubahan ini.

Rencana dapat disusun melalui suatu kajian risiko yang mendalam, baik terhadap dampak perubahan fisik (physcial risk) maupun dampak dari transisi (transition risk) dari kebijakan, peraturan maupun pergeseran pasar komoditi menuju dunia rendah karbon.

ICMM (International Council of Mining and Metals) sebagai badan industri yang menjadi wadah perusahaan pertambangan mineral dan batu bara di dunia memiliki visi bahwa industri pertambangan dapat dilakukan dengan bertanggung jawab dan mewajibkan para anggotanya untuk memiliki komitmen melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim dalam bentuk position statement (Position Statement Climate Change, 2021).

Anggota ICMM harus memiliki rencana adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta meng-integrasikan perubahan iklim sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan bisnis.

Hal ini menunjukkan semakin kuatnya tekanan bagi industri tambang dalam meningkatkan upaya, baik dalam mitigasi maupun adaptasi terhadap perubahan iklim.

https://money.kompas.com/read/2024/03/26/131907526/dampak-perubahan-iklim-terhadap-pertambangan-indonesia