Hari Perempuan Internasional, Hari Perjuangan Perempuan
16-November-24, 07:21HARI ini kembali Hari Perempuan Internasional diperingati. United Nations, Perserikatan Bangsa-bangsa sudah menggulirkan tema internasionalnya di mana-mana. Tema itu: Balance for Better. Arti harafiahnya, setara (antara perempuan dan lelaki) untuk hidup yang lebih baik.
Tema yang kadang di negara kita dicibir, karena merasa tak ada yang salah dengan kesetaraan perempuan dan lelaki di negara kita.
Namun, tahukah Anda, begitu banyak persoalan perempuan yang menjadi pekerjaan rumah tak selesai di negara kita? Dan bahkan sampai menjelang 74 tahun negara ini didirikan.
Saya bukan mengajak bersedih, justru saya ingin mengajak memaknai hari ini dengan cara yang sedikit berbeda daripada hanya seremonial gembira, yaitu mengingat dua persoalan perempuan di Indonesia yang tak kunjung rampung: pernikahan usia anak dan kematian ibu melahirkan.
Hari Perempuan Internasional 2019 berarti mengingat seorang remaja putri usia SMP di Bantaeng, Sulawesi Selatan, yang tahun lalu menggemparkan media massa.
Ia dinikahkan dengan temannya dan pernikahan disahkan secara hukum, juga dengan restu orang tua. Gadis kecil itu bahkan kehilangan hak atas pendidikan setinggi-tingginya.
Atau, kita mengingat seorang ibu di Papua yang meninggal dunia karena pendarahan dan komplikasi. Adat tempatnya tinggal mengharuskannya diasingkan ke hutan ketika ia sudah hamil besar dan akan melahirkan anaknya.
Dari ratusan penelitian
Bila kita bicara dengan data dan penelitian, tentu ini bisa membuka mata, menjadi refleksi, dan tentu saja membuat kita semua tergerak mencari jalan keluar. Sejak didirikan tahun 1990, Sekolah Kajian Strategik dan Global, Program Studi Kajian Gender, Universitas Indonesia, telah mengeluarkan ratusan penelitian terkait isu perempuan di Indonesia.
Sekolah yang didirikan oleh antara lain almarhumah Prof. T.O. Ihromi dan Prof. Saparinah Sadli pada 1990 ini awalnya berada di bawah Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Penelitian yang dikeluarkan oleh sekitar 300-an alumninya yang menjadi rujukan tulisan ini, sebetulnya bisa segera dipetik sebagai jalan keluar yang solutif atas berbagai persoalan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Tulisan ini hanya menyoroti dua hal saja yang menurut saya paling membuat miris dan prihatin. Kematian ibu melahirkan dan pernikahan usia anak.
Kematian ibu melahirkan
Isu ini menjadi momok yang luar biasa pada kerja penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Dalam “Perjalanan Panjang Menggugah dan Menyadarkan Pentingnya Kesehatan Reproduksi Perempuan” ditulis Iklilah Muzayanah Dini Fajriah, dalam buku Pengetahuan dari Perempuan: Kumpulan Penelitian Tesis dan Wajah Lulusan (Program Studi Kajian Wanita, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, 2010, hal. 143-156), jejak menyedihkan kasus kematian ibu melahirkan telah terekam dalam penelitian-penelitian sepanjang 20 tahun Studi Kajian Wanita (sekarang Kajian Gender) dilakukan.
Saya mengutip Iklilah,”... bila kita membincangkan kesehatan reproduksi perempuan, sesungguhnya posisi pengambil keputusan adalah posisi strategis bagi perempuan untuk menyelamatkan dirinya dari berbagai persoalan kesehatan reproduksinya. Namun, tampaknya persoalan tersebut masih membutuhkan perjuangan panjang yang tidak mudah. Penyebabnya, karena sistem budaya dan sistem politik belum sepenuhnya memberikan ruang pada perempuan.”
Iklilah memetakan betapa banyaknya penelitian di Program Pascasarjana Kajian Gender (dulu Kajian Wanita) Universitas Indonesia (UI) yang mengambil topik tesis kematian ibu melahirkan.
Bayangkan, bagaimana penelitian itu ditulis dalam rentang waktu yang cukup panjang: 1990-2010, dan dilakukan hampir di seluruh pelosok Indonesia.
Misalnya, apa yang dilakukan oleh Yenina Akmal dalam penelitiannya tentang kesehatan reproduksi ibu-ibu di Suku Sentani, Papua (Yenina Akmal, 2000) sampai catatan pengalaman ibu-ibu miskin melahirkan di lahan tandus Gunung Kidul, Yogyakarta (Endah Prihatiningtyastuti, 2006), dan masih ada penelitian-penelitian menyoal kesehatan ibu hamil dan melahirkan yang lainnya pada rentang waktu 20 tahun itu.
Penelitian Yenina Akmal yang dalam bagian buku ini berjudul “Perempuan dan Pemanfaatan Pelayanan Program Kesehatan Ibu dan Anak di Puskesmas Daerah Terpencil”, hasilnya menyedihkan, menarik dan bisa menjadi pembuka mata.
Begitu lekatnya angka kematian ibu melahirkan (AKI) berada pada peringkat tertinggi isu kesehatan perempuan di Indonesia, sejak 10 tahun lalu, padahal kita telah memiliki Badan Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) sejak tahun 1950-an (hal. 157).
Ini masalah lama yang bahkan sudah dibicarakan pada Kongres Perempuan Pertama tahun 1928 di Yogyakarta.
Penelitiannya atas ibu-ibu di kabupaten Sentani Papua ini menunjukkan bagaimana sulitnya menghapuskan data yang buruk ini. Padahal, kebijakannya sudah diupayakan dari hulu ke hilir.
Saat itu (2000), AKI di tingkat nasional berkisar pada angka 390/100.000 kelahiran hidup. Provinsi Papua, yang saat penelitian ini dibuat masih bernama Provinsi Irian Jaya, adalah penyumbang angka AKI terbesar: 700/100.000 kelahiran hidup. Angka itu masih relatif tetap sampai saat ini.
Miris? Ya, sangat, mengingat kasus-kasus itu terjadi meluas di seluruh Indonesia, sampai hari ini. Rasanya, kebijakan yang pro perempuan memang menjadi jawaban persoalan ini.
Perlu kebijakan di hulu dan pelaksanaan di setiap daerah dengan pengawasan yang ketat atas fasilitas-fasilitas kesehatan tingkat pertama pada hilirnya. Perlu sebuah penelitian lagi untuk memetakan AKI saat ini.
Pernikahan usia anak
Tahun ini kasus pernikahan usia anak kembali bergaung keras. Gadis ciik di Bantaeng, pelosok Sulawesi Selatan yang memicunya.
Kita marah karena isu ini pun terjadi di wilayah perkotaan.
Widia (29) adalah perempuan cerdas dengan banyak bakat dan kebisaan. Ia kini bekerja sebagai asisten rumah tangga, penjual baju online dan mengurus rumah.
Ia harus melupakan mimpinya sekolah tinggi pada saat ia justru memperoleh beasiswa masuk SMK Keperawatan di Depok Jawa Barat.
Orang tuanya menyerah karena tak mampu membiayai (hanya) ongkos pulang-pergi sekolah.
Ia menikah muda, mengubur mimpi sekolah tinggi dan kini merawat tiga anak yang masih sangat kecil.
Tentang isu pernikahan usia anak, begitu banyak yang bisa saya ingat dari penelitian-penelitian Kajian Wanita UI.
Salah satunya yang ditulis oleh ibu negara Republik Indonesia, istri Presiden Abdurachman Wahid: Sinta Nuriah Rahman Wahid pada saat akhir studinya di Kajian Wanita UI tahun 1998.
Judulnya “Perkawinan Usia Muda dan Kesehatan Reproduksi, Studi Kasus di Kecamatan Sekar Arum Kabupaten Brebes Jawa Tengah”.
Tahun ini, Rumah KitaB, sebuah lembaga riset dan advokasi tentang isu gender dan Islam, meluncurkan 14 buku hasil penelitian di 9 daerah tentang perkawinan usia anak di Indonesia.
Ada empat temuan pokok yang bisa kita pegang untuk menjawab mengapa praktik perkawinan usia anak terus berlangsung.
Pertama, praktik ini terkait dengan perubahan ruang hidup dan sosio-ekologis lingkungan. Terjadinya pergeseran kepemilikan tanah atau alih fungsi tanah telah mempersempit lapangan pekerjaan di desa.
Ketika suatu daerah mengalami perubahan ruang hidup yang berpengaruh kepada perubahan-perubahan relasi gender di dalam keluarga, dapat dipastikan di daerah itu terdapat kecenderungan tingginya kawin anak.
Hilangnya tanah serta sumber ekonomi di desa mendorong orangtua merantau baik tetap atau sirkuler atau berimigrasi.
Kedua, hilangnya peran orangtua akibat migrasi telah pula berdampak pada perubahan pembagian kerja dan peran gender di tingkat keluarga.
Banyak perempuan menjadi pencari nafkah utama. Namun, perubahan ini tak diikuti dengan perubahan peran lelaki di ruang domestik.
Meskipun mereka menganggur, secara budaya, lelaki tak disiapkan menjadi orangtua pengganti. Akibatnya, anak perempuan mengambil alih peran ibu, dalam banyak kasus mereka terpaksa berhenti sekolah.
Ini mendorong mereka cepat kawin karena tak sanggup menanggung beban rumah tangga orangtuanya.
Ketiga, perkawinan anak merupakan konsekuensi logis dari semakin kakunya nilai-nilai moral akibat hilangnya kuasa pemimpin lokal pada sumber-sumber ekonomi dan aset desa, serta melemahnya kekuasaan tradisional mereka.
Perempuan berjuang
Mengapa saya bersikeras menyoroti kedua isu perempuan ini?
Ini isu berkepanjangan dan ada sejak sebelum Republik Indonesia ada. Isu yang bahkan telah menjadi salah satu isu utama pada Kongres Perempuan 1928.
Profesor Saparinah Sadli, guru besar UI dan pegiat isu perempuan, juga pendiri Kajian Wanita Universitas Indonesia yang hasil penelitiannya banyak saya kutip di awal tulisan ini, mengingatkan itu dalam kolomnya yang berjudul “Rembuk Perempuan” (Kompas, 22 Desember 2018, hal. 6).
Saparinah menulis, “Apa kaitan perayaan Hari Ibu di tengah kemajuan zaman dengan “remboeg’” di Kongres Nasional Perempuan pertama? Kongres Perempoen tahun 1928 itu telah membahas berbagai hal terkait perempuan yang dianggap perlu diperjuangkan dalam mengisi kualitas kehidupan dan kemajuan berbangsa. Diantaranya, diangkat isu perlunya mengurangi perkawinan usia dini dan kematian ibu melahirkan. Meskipun tentu saja saat itu belum didukung angka statistik. Belum lahir pula nama “Indonesia”. Dua permasalahan: AKI dan pernikahan usia anak, yang ternyata hingga hari ini, dengan didukung oleh angka dan hasil penelitian, masih relevan untuk diperjuangkan. Kini, sembilan puluh tahun setelah Kongres Perempuan Pertama itu, persoalan perempuan masih sama.”
Saparinah juga mengingatkan, permasalahan yang diangkat tahun 1928 itu,bukannya tidak ditindaklajuti oleh para pejuang atau aktivis perempuan masa kini.
Para aktivis perempuan masa kini, mungkin tanpa mengaitkannya dengan Kongres Perempuan Pertama,telah menjadi pejuang-pejuang perempuan bangsa masa kini.
Perjuangan mereka pada dasarnya bertumpu pada keyakinan bahwa “Hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia.”
Jadi, apa yang harus diperjuangkan perempuan di era milineal?
Selain tentunya mengingat dua isu yang selalu menjadi pekerjaan rumah yang belum tamat itu, kita berjuang di ranah kita masing-masing.
Selalu ingat, kita adalah sebagian (kecil) perempuan Indonesia yang beruntung, berpendidikan baik, sehingga dapat memilih dan menjadi apapun yang kita inginkan.
Dengan selalu mengingatnya, kita juga membantu (tak langsung) berjuang untuk menguranginya.
Selamat berjuang perempuan Indonesia! Selamat Hari Perempuan Internasional!