Siti Hinggil, Tempat Singgasana Sultan di Keraton Yogyakarta
16-November-24, 04:23Laporan kumpulan berita terkini dari berbagai media nasional - Sebagai istana Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, kawasan Keraton Yogyakarta terdiri dari serangkaian ruang terbuka dan bangunan yang menempati area seluas 14.000 meter persegi.
Selain bangunan-bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal Sultan, keluarga, dan abdi dalem, Keraton Yogyakarta juaga memiliki bangunan lain yang memiliki nama dan fungsi tertentu.
Arsitektur keraton dirancang oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I sekaligus pendiri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Salah satu bangunan penting yang ada di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta dikenal dengan nama Siti Hinggil.
Dilansir dari laman kratonjogja.id, nama Siti Hinggil berasal dari istilah dalam Bahasa Jawa, yaitu “siti” yang artinya tanah atau area, serta “hinggil” yang artinya tinggi.
Sehingga Siti Hinggil dapat diartikan sebagai tanah atau area yang ditinggikan dengan fungsi filosofis sebagai tempat resmi kedudukan Sultan saat Miyos dan Siniwaka.
Miyos adalah kondisi dimana Sultan beserta pengiringnya meninggalkan kediamannya, sedangkan Siniwaka adalah ketika Sultan Lenggah Dampar atau duduk di singgasana.
Singgasana tersebut terletak di Bangsal Manguntur Tangkil yang digunakan pada saat penobatan (upacara Jumenengan) atau pada saat kraton menyelenggarakan upacara Pisowanan, Garebeg Dal, dan lain sebagainya.
Sejarah Pembangunan Siti Hinggil
Pembangunan Siti Hinggil dilakukan bersama dengan pembangunan Keraton Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I pada 1755.
Hingga pada 7 Oktober 1756 atau hari Kamis pahing tanggal 13 Sura-Djimakir 1682 Jw, Sri Sultan Hamengkubuwono I akhirnya meninggalkan Pesanggrahan Ambarketawang untuk pindah ke Kraton Yogyakarta.
Dilansir dari laman Kemendikbud, bentuk bangunan Siti Hinggil hingga masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII masih tampak sederhana.
Renovasi bangunan hingga terlihat megah seperti saat inii dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VIII.
Tahun pembangunan diketahui dari candrasengkala memet berupa dua ekor naga dengan penutup kepala atau kuluk raja di antara sulur-suluran bunga yang dibaca “Pandhita Cakra Naga Wani”, yang berarti angka tahun 1857 Jawa.
Sementara untuk tahun masehi digambarkan dengan surya sengkala memet kumbang, tangan, dan suluran bunga yang dapat dibaca “Gana Asta Kembang Lata”, yang berarti angka tahun 1926.
Bangunan Siti Hinggil seperti halnya Pagelaran menggunakan kerangka besi dan ditopang dengan kolom besi cor yang didatangkan dari Belanda.