Satu Dekade Dana Desa: Janji Pembangunan yang Terkikis Korupsi dan Birokrasi
16-November-24, 00:14SEJAK diperkenalkan pada 2014, program Dana Desa diharapkan menjadi instrumen kebijakan yang revolusioner untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antarwilayah di Indonesia.
Dengan alokasi dana yang signifikan—sejak 2015 hingga 2024, pemerintah telah menggelontorkan lebih dari Rp 400 triliun—program ini bertujuan mempercepat pembangunan infrastruktur, meningkatkan kesejahteraan, dan mengurangi kemiskinan di tingkat desa.
Namun, setelah satu dekade berlalu, muncul pertanyaan kritis: apakah dana tersebut benar-benar mencapai tujuan mulianya, ataukah janji-janji tersebut terkikis oleh korupsi dan birokrasi yang merajalela?
Ketika Dana Desa pertama kali diluncurkan, banyak yang optimistis bahwa ini adalah langkah revolusioner untuk memperkuat pembangunan desa.
Pada 2015, alokasi awal sebesar Rp 20,76 triliun diberikan kepada lebih dari 74.000 desa di seluruh Indonesia.
Alokasi ini terus meningkat setiap tahunnya, dengan jumlah mencapai Rp 72 triliun pada tahun 2022 dan sedikit berkurang menjadi Rp 68 triliun pada 2024, akibat penyesuaian anggaran negara.
Dana Desa difokuskan pada tiga pilar utama: pembangunan infrastruktur, pengembangan ekonomi desa, dan pemberdayaan masyarakat.
Data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menunjukkan bahwa selama satu dekade, Dana Desa telah digunakan untuk membangun lebih dari 200.000 kilometer jalan desa, 1.200 jembatan, 22.000 unit sarana air bersih, dan ribuan fasilitas kesehatan serta pendidikan.
Selain itu, program ini telah menciptakan lebih dari 4,2 juta lapangan kerja di pedesaan.
Namun, di balik pencapaian tersebut, terdapat realitas pahit yang sulit diabaikan: banyak proyek gagal, kualitas pembangunan buruk, dan dana yang tidak sampai kepada yang seharusnya. Penyebab utamanya? Korupsi dan birokrasi yang menghambat.
Korupsi dan birokrasi
Korupsi menjadi masalah utama yang membayangi pengelolaan Dana Desa. Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2015 hingga 2024, terdapat lebih dari 900 kasus korupsi terkait Dana Desa yang diungkap, dengan nilai kerugian negara mencapai lebih dari Rp 1,5 triliun.
Modus operandi korupsi bervariasi, mulai dari penggelembungan anggaran proyek, proyek fiktif, hingga pemotongan dana oleh aparat desa dan pejabat daerah.
Salah satu kasus yang mencolok di Kabupaten Malang, Jawa Timur, di mana kepala desa dan perangkat desa lainnya terlibat dalam penggelapan dana desa sebesar Rp 2,4 miliar.
Uang yang seharusnya digunakan untuk membangun fasilitas kesehatan dan jalan desa, justru masuk ke kantong pribadi pejabat desa.
Masalah korupsi ini diperparah dengan minimnya transparansi dalam pengelolaan dana. Di banyak desa, masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap informasi penggunaan Dana Desa.