AS Pertanyakan Implementasi UU Jaminan Produk Halal Indonesia, Sebut Hambatan Perdagangan
Amerika Serikat secara resmi menyampaikan kekhawatiran terhadap implementasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal di Indonesia. Kekhawatiran ini tertuang dalam Laporan Perkiraan Dagang Nasional 2025 yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) pada 31 Maret 2025. Pemerintah AS menilai bahwa regulasi tersebut berpotensi menjadi hambatan teknis bagi perdagangan antara kedua negara.
Dalam laporan tersebut, USTR secara spesifik menyoroti beberapa poin krusial. Pertama, terkait dengan cakupan kewajiban sertifikasi halal yang dinilai terlalu luas. Menurut UU Jaminan Produk Halal, sertifikasi halal wajib diberlakukan untuk berbagai jenis produk, mulai dari pangan dan minuman, farmasi, kosmetik, alat kesehatan, produk biologi, produk rekayasa genetika, barang konsumsi, hingga produk kimia yang diperdagangkan di Indonesia. USTR mencatat bahwa seluruh proses bisnis, termasuk produksi, penyimpanan, pengemasan, distribusi, dan pemasaran, tercakup dalam undang-undang ini.
Amerika Serikat juga menyoroti Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 784/2021 tentang produk-produk yang memerlukan sertifikasi halal dan KMA Nomor 1360/2021 tentang bahan yang dikecualikan dari kewajiban sertifikasi halal. Pemerintah AS berpendapat bahwa aturan ini bisa diubah dan bersifat dinamis. Pihaknya juga merasa bahwa Indonesia kurang transparan dalam proses penyusunan regulasi terkait sertifikasi halal. USTR mengklaim bahwa Indonesia terkesan terburu-buru dalam menyelesaikan berbagai peraturan tanpa memberitahukan rancangan peraturan tersebut kepada WTO dan mempertimbangkan masukan dari para pemangku kepentingan, sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Perjanjian WTO tentang Hambatan Teknis Perdagangan.
Isu lain yang menjadi perhatian AS adalah aturan akreditasi bagi badan sertifikasi halal asing (Halal Certification Body/HCB). USTR menilai bahwa aturan akreditasi tersebut memberatkan HCB dari AS untuk dapat menerbitkan sertifikasi halal yang diakui di Indonesia. Pemerintah AS berpendapat bahwa proses akreditasi saat ini memerlukan terlalu banyak dokumen, persyaratan yang memberatkan bagi auditor, dan kebijakan rasio cakupan terhadap auditor yang sewenang-wenang. Hal ini dinilai meningkatkan biaya dan menunda prosedur akreditasi yang tidak perlu bagi HCB AS.
Amerika Serikat secara aktif menyuarakan kekhawatiran ini melalui berbagai forum internasional, termasuk Komite TBT WTO dan Komite Perdagangan Barang WTO. Pemerintah AS berharap dapat berdialog dengan Indonesia untuk mencari solusi yang dapat mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak dan memastikan bahwa regulasi sertifikasi halal tidak menjadi hambatan yang tidak perlu bagi perdagangan.
Secara garis besar, kekhawatiran AS terhadap implementasi UU Jaminan Produk Halal di Indonesia berfokus pada tiga aspek utama, yaitu:
- Cakupan Kewajiban Sertifikasi Halal: Pemerintah AS menilai bahwa cakupan produk yang wajib bersertifikasi halal terlalu luas.
- Transparansi Regulasi: Pemerintah AS merasa bahwa Indonesia kurang transparan dalam proses penyusunan regulasi terkait sertifikasi halal.
- Aturan Akreditasi HCB: Pemerintah AS menilai bahwa aturan akreditasi bagi badan sertifikasi halal asing terlalu memberatkan.
Diharapkan, dialog antara kedua negara dapat menghasilkan solusi yang konstruktif dan saling menguntungkan, sehingga potensi hambatan perdagangan dapat diatasi dan hubungan ekonomi antara Indonesia dan Amerika Serikat dapat terus berkembang.