Tragedi Kemanusiaan Poco Leok
15-November-24, 19:57TANGGAL 2 Oktober 2024, Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut ditangkap oleh aparat ketika sedang meliput aksi penolakan proyek geotermal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Dari sejumlah penjelasan polisi, alasan Herry “diamankan” karena ia tidak membawa kartu pers saat meliput.
Diyakini alasan itu dipaksakan dan terus-menerus digunakan polisi karena memang hanya itu satu-satunya alasan yang bisa dipakai untuk membenarkan tindakan mereka.
Dari penjelasan Herry, sebenarnya ia juga berusaha menjelaskan statusnya sebagai pemimpin redaksi, dengan surat tugas yang dia tandatangani untuk jurnalis Floresa lainnya.
Ia juga menunjukkan statusnya sebagai pemimpin redaksi di web Floresa. Namun, ia tetap saja ditahan, ponselnya tetap dikuasai polisi, lalu dipaksa berbicara dalam video dengan kata-kata yang didikte polisi sebagai alasan untuk bebas.
Tampaknya polisi hanya mencari-cari alasan untuk membenarkan aksi kekerasan terhadapanya.
Poco Leok hanya satu di antara lokasi proyek investasi geotermal di Flores. Saat ini sejumlah proyek lain juga sedang dikerjakan seperti di Atadei, Kabupaten Lembata; Mataloko dan Nage di Kabupaten Ngada dan Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat.
Membawa kasus ini ke ranah hukum adalah bagian dari upaya menegakkan akuntabilitas aparat keamanan agar tidak berlaku sewenang-wenang melanggar sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab serta Hak Asasi Manusia maupun agenda Pembangunan Berkelanjutan.
Pendiri Institut Sosial Indonesia merangkap mahaguru kemanusiaan saya, Sandyawan Sumardi beserta antropolog-geolog Prof Riwanto Tirtosudarmo secara “bocor-alus” menyadarkan saya bahwa sebenarnya tragedi penggusuran rakyat terjadi secara serial bukan hanya di Flores, tetapi juga di Tangerang, Kampung Bayam, Kali Jodo, Kampung Akuarium, Kendeng, Wadas, Mandalika, IKN, Papua serta di mana saja terbukti alam dirusak dan rakyat digusur dengan menghalalkan segala cara atas nama pembangunan infrastruktur.