Bajak Membajak Partai
15-November-24, 19:49Dimuat dalam media nasional yang dirangkum kumpulan berita terkini - BELAKANGAN ini ramai orang membicarakan mundurnya Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Banyak orang yang yakin dia tidak ikhlas mengundurkan diri. Pertama, tentu saja karena pengunduran dirinya tiba-tiba. Selain itu Airlangga menyatakan pengunduran dirinya adalah untuk kepentingan partai.
Tudingan pun diarahkan kepada pemerintah. Pemerintahan yang dipimpin Presiden Joko Widodo dituding membajak Partai Golkar. Terlebih sebelumnya Kepala Staf Presiden Moeldoko sempat ingin mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat dari Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) namun gagal. Belakangan AHY bergabung dengan kubu pemerintah.
Mendengar tudingan tersebut, Jokowi saat berada di Ibu Kota Nusantara, Selasa (13/8), membantah ikut campur dalam urusan Golkar. Mundurnya Airlangga merupakan urusan internal partai pohon beringin itu.
Bajak membajak partai bukanlah hal baru di negeri ini. PDIP yang saat ini menjadi partai besar, pernah merasakan sakitnya dibajak penguasa. Megawati dan pendukungnya harus berdarah-darah menghadapi pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto. Ketika itu Soeharto berkuasa dengan motor Golkar.
Kondisi ini terasa tidak sehat bagi rakyat. Penguasa berusaha mengendalikan sebanyak-banyaknya partai. Padahal tujuan dibukanya kran banyak partai adalah agar rakyat memiliki banyak saluran dalam menyampaikan aspirasi. Ini mengacu pada pengalaman Orde Baru, di mana hanya ada tiga partai yakni Golkar, PPP dan PDI. Ketika itu Golkar begitu berkuasa.
Ternyata banyak partai juga tidak menjamin penyaluran aspirasi masyarakat. Banyak partai hanya mencari kedudukan sehingga bergabung dengan pemenang pemilihan umum. Hanya ada segelintir partai yang mau jadi oposisi. Itu pun harus berhadapan dengan penguasa.
Upaya membajak partai tak hanya terjadi di tingkat nasional. Menjelang pemilihan kepala daerah, banyak penguasa yang berusaha menguasai seluruh partai yang mendapat kursi di parlemen. Ini agar calon lawan tidak memiliki kesempatan untuk bertarung di pilkada.
Jadi jangan heran jika ada sejumlah daerah yang peserta pilkada hanya satu pasangan. Istilahnya melawan kotak kosong.
Ini tentu tidak sehat. Masyarakat tidak memiliki opsi. Yang bisa dilakukan hanyalah golput atau golongan putih. Padahal tidak memilih bukan pilihan yang baik.
Para pemikir negeri ini harus membebaskan masyarakat dari belenggu oligarki. Kalangan terpelajar seperti mahasiswa juga harus kembali tampil meluruskan cita-cita reformasi, yang diperjuangkan para pendahulu. (*)