Regulasi Pensiun Dini PLTU Dikhawatirkan Tidak Sesuai Target Emisi

Implementasi Pensiun Dini PLTU Terancam Tidak Optimal

Penerbitan Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan menjadi landasan hukum bagi percepatan penghentian operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Namun, sejumlah kalangan menilai implementasi regulasi ini masih perlu dikritisi untuk memastikan transisi energi berjalan efektif dan mencapai target pengurangan emisi.

Kriteria Pensiun Dini PLTU Dinilai Belum Cukup Tegas

Salah satu poin krusial yang disoroti adalah belum adanya daftar PLTU yang secara spesifik akan dipensiunkan lebih awal. Regulasi tersebut baru mensyaratkan kajian dengan berbagai kriteria seperti kapasitas, usia, utilisasi, emisi gas rumah kaca, nilai tambah ekonomi, serta dukungan pendanaan dan teknologi. Hal ini dinilai membuat proses pensiun dini PLTU menjadi bersyarat dan berpotensi memperlambat realisasi.

  • Keterlambatan Kajian: Pasal 12 dalam peraturan tersebut belum mengatur secara jelas langkah antisipasi jika kajian yang diwajibkan untuk proses percepatan pensiun dini PLTU melewati batas waktu enam bulan.
  • Aspek Transisi Energi Berkeadilan: Bobot aspek ini hanya sebesar 10,1% dalam kriteria pemilihan PLTU, sehingga pemerintah perlu memberikan penjelasan lebih detail mengenai kerangka Transisi Energi Berkeadilan yang digunakan.

Komitmen Penghentian PLTU Secara Bertahap Dipertanyakan

Peraturan Menteri tersebut memproyeksikan penghentian operasional PLTU secara bertahap, padahal Presiden telah berkomitmen untuk menghentikan seluruh PLTU dalam 15 tahun ke depan (2040). Ketidaksesuaian ini menimbulkan pertanyaan mengenai keseriusan pemerintah dalam mencapai target yang telah ditetapkan.

Pemilihan Teknologi Transisi Energi Berpotensi Melenceng dari Target Emisi

Pemerintah masih membuka peluang penggunaan teknologi seperti co-firing batu bara dengan biomassa, hidrogen, dan amonia, serta penangkapan karbon (CCS). Langkah ini dikhawatirkan memperpanjang usia operasional PLTU batu bara hingga 2060 dan tetap menghasilkan emisi karbon. Selain itu, teknologi CCS pada PLTU batu bara secara global masih sedikit dan sebagian besar berakhir gagal menyerap karbon secara maksimal.

Proyeksi sistem ketenagalistrikan dalam Permen 10/2025 masih sama dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024, yang dinilai masih mempromosikan solusi palsu dan berisiko gagal memangkas emisi serta terjebak dalam krisis iklim yang lebih buruk.

Potensi Beban Biaya Transisi Energi

Pemerintah juga memilih teknologi berbiaya mahal dalam transisi energi, seperti nuklir dan CCS. Hal ini berpotensi membebani keuangan negara melalui skema subsidi, atau memberatkan masyarakat dengan meningkatnya tarif listrik.

Secara keseluruhan, Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2025 merupakan langkah awal yang baik dalam upaya mempercepat pensiun dini PLTU. Namun, sejumlah aspek perlu diperbaiki dan diperjelas agar regulasi ini dapat diimplementasikan secara optimal dan mencapai target pengurangan emisi yang telah ditetapkan.