Saat Petugas Pajak Berburu di Kebun Binatang

Pemerintah terus menjaga momentum dalam membenahi sektor perpajakan nasional. Usai menggelar program pengampunan pajak (tax amnesty) selama 9 bulan, kini pemerintah memulai upaya yang lebih intensif dan proaktif dalam mencari dan mengejar para wajib pajak nakal yang suka menyembunyikan aset dan mengemplang pajak.

Upaya itu ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

Dengan Perppu tersebut, Ditjen Pajak sebagai otoritas pajak di Indonesia bisa mengakses langsung rekening wajib pajak di bank, asuransi, sekuritas, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Sebelum ada Perppu tersebut, Ditjen Pajak melalui Menteri Keuangan harus terlebih dahulu meminta izin Otoritas Jasa Keuangan atau pengadilan untuk mengakses rekening wajib pajak di lembaga keuangan.

Itu pun harus disertai alasan yang kuat misalnya wajib pajak bersangkutan tengah dalam penyidikan kasus pajak atau kasus pidana lainnya.

Kini, tanpa perlu alasan apapun, Ditjen Pajak bisa mengintip seluruh rekening wajib pajak di lembaga keuangan. Bahkan, tanpa perlu meminta, Ditjen Pajak bisa mendapatkan informasi rekening wajib pajak dari bank dan lembaga keuangan lainnya.

Sebab lembaga keuangan kini wajib melaporkan rekening milik wajib pajak warga negara asing (WNA) dengan saldo minimal 250.000 dollar AS atau Rp 3,25 miliar untuk kepentingan internasional dan wajib pajak domestik dengan saldo minimal Rp 500 juta.

Dengan “senjata” ini, Ditjen Pajak bisa lebih mudah mencari dan mengejar para pengemplang pajak.

Dengan mengantongi berbagai informasi keuangan wajib pajak yang ada di lembaga keuangan, Ditjen Pajak bisa gampang menemukan siapa saja wajib pajak yang tidak pernah melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) atau siapa saja wajib pajak yang memanipulasi laporan kekayaan dan pembayaran pajaknya.

Sebelum ini, Ditjen Pajak sulit untuk memverifikasi SPT yang dilaporkan wajib pajak, apakah dimanipulasi atau tidak.

Sebab, untuk melakukan verfikasi, Ditjen Pajak tentu saja harus memiliki informasi mengenai transaksi dan aset keuangan wajib pajak yang sebenarnya. Nah, informasi-informasi semacam inilah yang dulu tidak bisa diakses Ditjen Pajak.

Sejumlah pihak berpendapat, akses informasi keuangan yang dimiliki Ditjen Pajak tersebut bertentangan dengan prinsip kerahasiaan bank. Apa memang demikian? Bisa jadi, sebab kini Ditjen Pajak kini bisa mengakses informasi keuangan tanpa perlu alasan yang bersifat pro yustisia.

Kendati demikian, prinsip kerahasiaan bank sendiri, belakangan ini cenderung mulai ditinggalkan oleh banyak negara demi kepentingan pajak. Alasannya, prinsip tersebut faktanya malah banyak digunakan sebagai tameng untuk melindungi dana-dana ilegal yang berasal dari penggelapan pajak, pencucian uang, dan korupsi.

Akibatnya, pajak yang diterima negara tidak optimal. Padahal pajak sangat dibutuhkan untuk pembangunan dan jalannya roda pemerintahan.

Tentu saja, informasi keuangan yang diperoleh Ditjen pajak hanya akan digunakan untuk kepentingan perpajakan dan tidak boleh dibocorkan ke publik atau  pihak-pihak lain.

AEoI

Perppu 1/2017 menyebutkan pemberian akses informasi keuangan yang lebih luas kepada Ditjen Pajak juga terkait dengan implementasi pertukaran informasi keuangan secara otomatis (autimatic exchange of financial account information/AEoI) antarnegara.

AEoI merupakan aturan yang digagas negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development atau OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi).

Dengan aturan ini, tiap-tiap negara wajib memberikan segala informasi terutama yang terkait keuangan milik WNA kepada negara asalnya.

Aturan ini bertujuan untuk mempersempit ruang gerak wajib pajak di masing-masing negara untuk menggelapkan atau menghindari pajak dengan cara melarikan asetnya ke luar negeri.

Maklum, dengan sistem keuangan global yang tanpa batas saat ini, orang bisa dengan mudah untuk memindahkan dan menyembunyikan asetnya di sana-sini tanpa bisa dideteksi pemerintahnya sendiri.

Banyak pihak mendukung rencana pemerintah untuk bergabung dalam AEoI tersebut.  Keikutsertaan itu bukan semata karena Indonesia takut dikucilkan dalam pergaulan internasional atau dituding tidak memiliki komitmen untuk mendukung transparansi.

Namun, justru karena Indonesia menjadi salah satu yang paling diuntungkan dengan aturan tersebut. Sebab, ada aset senilai ribuan triliunan rupiah yang disembunyikan WNI di luar negeri tanpa Ditjen Pajak bisa melacaknya.

Bahkan, setelah pelaksanaan program pengampunan pajak (tax amnesty) selama Juli 2016 – Maret 2017, harta WNI yang tersembunyi di luar negeri disinyalir masih sangat besar.

Jika aset-aset itu bisa terlacak, tentu pemerintah bisa menagih pajaknya sehingga penerimaan negara akan melonjak drastis.

Berdasarkan kesepakatan OECD, negara yang ingin mengimplementasikan AEoI, sudah harus membentuk undang-undang mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan paling lambat tanggal 30 Juni 2017 mengingat aturan AEoI akan diimplementasikan mulai 2018.

Karena untuk membuat atau mengamandemen UU diperlukan waktu yang cukup lama, sementara waktu yang tersedia tidak banyak, akhirnya pemerintah menerbitkan Perppu 1/2017 untuk mengakomodasi aturan AEoI tersebut.

Berburu

Berbagai kebijakan perpajakan yang digulikan pemerintah seperti tax amnesty dan Perppu 1/2017 pada intinya bertujuan untuk mendongkrak penerimaan pajak negara.

Ini karena penerimaan pajak negara masih tergolong rendah. Di sisi lain, pemerintah sangat membutuhkan dana untuk memacu pembangunan infrastruktur.

Rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio Indonesia hanya sekitar 12 – 13  persen. Padahal, negara lain yang perekonomiannya serupa dengan Indonesia umumnya memiliki tax ratio sekitar 20 persen.

Artinya, masih banyak wajib pajak di Indonesia yang tidak membayar pajak dengan sebenarnya. Dengan kata lain, praktik penggelapan pajak dan penyembunyian aset masih marak di Indonesia.

Industri perbankan dan lembaga keuangan lainnya disinyalir telah dijadikan tempat untuk menyembunyikan dana dari kejaran pajak. Sejumlah fakta mengindikasikan hal tersebut, salah satunya dari pelaporan harta selama tax amnesty.

Selama tax amnesty, pelaporan harta dalam bentuk kas dan setara kas di dalam negeri mencapai Rp 1.284,9 triliun. Harta ini sebagian besar merupakan aset yang disimpan di perbankan dalam bentuk tabungan, deposito, dan giro.

Ini berarti ada ribuan triliunan rupiah simpanan di perbankan yang tidak pernah dilaporkan ke otoritas pajak sebelum pemberlakuan tax amnesty. Dengan kata lain, dulunya aset-aset  tersebut sengaja disembunyikan, mungkin karena diperoleh dari transaksi ilegal atau semacamnya.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total simpanan di perbankan dalam bentuk tabungan, deposito, dan giro per akhir Januari 2017 mencapai  Rp 4.836,76 triliun.

Artinya, sebelum penerapan tax amnesty, minimal 26 persen atau seperempat dari seluruh simpanan masyarakat Indonesia di perbankan merupakan harta yang disembunyikan atau ilegal.

Dikatakan minimal karena diketahui masih banyak wajib pajak yang tidak mengikuti tax amnesty atau tidak melaporkan hartanya yang disimpan di bank dengan jujur.

Fakta yang yang terungkap dari pelaksanaan tax amnesty tersebut juga sejalan dengan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Selama ini, PPATK rutin menyampaikan laporan hasil analisis (LHA) dari transaksi-transaksi keuangan mencurigakan yang umumnya terjadi di sistem perbankan.

Dalam LHA tersebut, terdapat banyak transaksi keuangan yang tidak pernah dilaporkan atau dibayarkan pajaknya kepada negara. Dana atau transaksi tersebut umumnya tidak jelas asal usulnya dan diduga terkait dengan tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan penggelapan pajak.

Pada tahun 2015 saja, PPATK menemukan transaksi senilai Rp 26 triliun di perbankan yang tidak pernah dilaporkan kepada otoritas pajak. PPATK mengestimasi ada ribuan triliun rupiah transaksi atau aset lainnya di perbankan yang belum ditarik pajaknya.

Dengan masih banyaknya dana ilegal yang disembunyikan di perbankan dan sistem keuangan, maka kini Ditjen Pajak ibarat akan berburu di kebun binatang. Tanpa bersusah payah, Ditjen Pajak akan menemukan banyak wajib pajak nakal.

Di sisi lain, dengan AEoI, pemerintah juga bisa mengoptimalkan penerimaan pajak dari WNI yang menyembunyikan hartanya di luar negeri. Sebab, disinyalir pula masih banyak harta WNI di luar negeri yang belum dilaporkan pasca-tax amnesty.

Selama penyelenggaran tax amnesty, harta WNI di luar negeri yang hanya dideklarasi sebesar Rp 1.032 triliun, sementara yang dideklarasi sekaligus direpatriasi senilai Rp 147 triliun. Jika ditotal, harta di luar negeri yang dilaporkan sebesar Rp 1.179 triliun.

Padahal, pemerintah pernah mengungkapkan, harta WNI yang disimpan di luar negeri mencapai 250 miliar dollar AS atau sekitar Rp 3.250 triliun (kurs Rp 13.000 per dollar AS). Sebagian besar harta tersebut belum dilaporkan kepada otoritas pajak.

Dengan membandingkan harta WNI yang disimpan di luar negeri dan harta yang dideklarasikan, berarti ada sekitar Rp 2.000 triliun lebih yang belum dilaporkan. Di mana sebagian besar aset yang tidak dilaporkan itu berada?

Pemerintah menyebutkan, dari Rp 3.250 triliun aset WNI di luar negeri, sebanyak 200 miliar dollar AS atau Rp 2.600 triliun ada di Singapura.

Adapun total harta WNI di Singapura yang dilaporkan hanya sekitar Rp 798,6 triliun. Ini berarti masih banyak harta WNI di Singapura yang belum dilaporkan kepada otoritas pajak Indonesia.

Masyarakat berharap, Perppu 1/2017 ini bisa mempersempit ruang gerak wajib pajak nakal untuk menyembunyikan aset dan melakukan pencucian uang sehingga penerimaan pajak negara akhirnya bisa meningkat.

Namun, masyarakat juga mengingatkan agar kewenangan yang besar itu tidak disalahgunakan oleh petugas pajak. Masyarakat tentu ingat, cukup banyak pegawai pajak yang terseret kasus korupsi.

https://money.kompas.com/read/2017/05/23/070000126/saat.petugas.pajak.berburu.di.kebun.binatang.