Hati-hati, Ibu yang Stres Bisa Mengganggu Stimulasi Emosional pada Bayi
15-November-24, 12:56TANGERANG, media nasional sebelumnya, seperti yang dilansir oleh kumpulan berita terkini – Stres yang dialami ibu bisa berdampak negatif pada bayi. Oleh karena itu, penting bagi Ibu menghindari stres agar bayi menerima stimulasi emosional yang positif.
Stimulasi emosional yang positif dapat memupuk rasa penuh kasih sayang pada anak terhadap orang lain, serta pandangan hidup yang positif.
Psikolog di Mykidz Clinic Gloria Siagian, M.Psi mengatakan, salah satu cara untuk memberi stimulasi emosional yang positif adalah berinteraksi dengan penuh kasih sayang.
“Melakukan interaksi yang penuh kasih sayang dan responsif terhadap kebutuhan bayi akan membentuk rasa aman dan ikatan emosional yang kuat,” jelas dia di Gramedia World BSD, Pagedangan, Kabupaten Tangerang, beberapa waktu lalu.
Salah satu penyebab ibu mengalami stres adalah tidak ada orang lain yang membantunya mengurus anak, entah itu sang suami, orangtua, atau mertuanya.
Lantaran merasa stres dan kewalahan, ibu bisa mengalami baby blues. Kondisi ini bisa berefek pada bayi, di mana saat bayi membutuhkan interaksi yang penuh kasih sayang, misalnya ketika menangis, bayi malah dimarahi atau dibiarkan oleh ibunya.
Tindakan tersebut tentu berpengaruh terhadap kondisi psikologis bayi karena merasa “ditinggalkan”.
“Respons kita sebagai orangtua itu sangat diharapkan. Seperti ketika anak menangis, karena bahasanya cuma bisa nangis, terus enggak ada yang merespons. Rasanya kayak kita (orang dewasa) dicuekin orang lain,” ujar dia.
Padahal, respons yang tepat untuk mengatasi anak yang menangis adalah dengan digendong dan dipeluk. Ini untuk mengimitasi perasaan hangat yang dirasakan bayi saat masih dalam kandungan.
Membantu meregulasi emosi anak
Interaksi penuh kasih sayang dan responsif yang dilakukan sejak anak masih bayi, dapat membantu mereka meregulasi emosinya, karena mereka merasa aman.
Salah satu contohnya ketika mereka pertama kali masuk sekolah. Tidak jarang, anak menangis sampai berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, karena tidak mau masuk sekolah.
Salah satu alasannya, karena mereka harus berpisah dengan ayah dan ibunya, meski untuk sementara waktu saja.
“Rasa aman itu terbentuknya dari bayi. Dia merasa aman bahwa orangtuanya enggak bakal melupakan mereka dan bakal menjemput mereka lagi,” ujar Gloria.
Berbeda dengan anak yang berbekal interaksi penuh kasih sayang dan responsif dari orangtuanya, mereka biasanya mudah diberi pengertian dan akan memanfaatkan hari pertama bersekolah untuk memantau situasi di lingkungan barunya.
“Hari pertama sekolah cuma lihat-lihat karena berusaha belajar untuk meregulasi dan mengatur emosinya, (beri pengertian) ‘enggak apa-apa, nanti ketemu mama habis sekolah, cuma sebentar di sini, dan orang-orang di sini baik’,” kata Gloria.
Interaksi orangtua dengan orang dewasa lainnya
Di sisi lain, dalam meregulasi emosinya, anak akan menarik referensi dari situasi yang pernah dilihat atau dialami. Sebagai contoh, regulasi emosi yang dilakukan ketika anak menilai gurunya di sekolah baru.
“Anak belajar bahwa gurunya baik dari orangtuanya, dari respons orangtuanya dan dari respons orang dewasa di sekitarnya,” papar Gloria.
Artinya, ketika seorang anak terbiasa dengan interaksi dan respons negatif dan penuh amarah sedari bayi, akan terbentuk persepsi bahwa semua orang dewasa seperti itu.
“Bayangkan kalau orang dewasa di sekitarnya suka marah-marah dan mukul. Pasti akan terbentuk persepsi, bahwa orang dewasa lainnya juga kemungkinan jahat. Jadi, ini penting sekali untuk membentuk stimulasi emosional,” pungkas dia.