Kerajaan Mempawah: Sejarah, Pendiri, Raja-raja, dan Keruntuhan
15-November-24, 12:53Laporan kumpulan berita terkini dari berbagai media nasional - Kerajaan Mempawah adalah salah satu kerajaan yang terletak di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.
Cikal-bakal kerajaan ini terkait erat dengan riwayat beberapa kerajaan pendahulunya yang bercorak Hindu dan berdiri pada abad ke-14.
Oleh karena itu, riwayat Kerajaan Mempawah terdiri dari dua periode, yaitu pemerintahan pada masa Hindu dan masa pengaruh Islam (kesultanan).
Sejarah awal
Menurut sejarah, berdirinya Kerajaan Mempawah berakar dari Kerajaan Suku Dayak yang didirikan di Bahana.
Kemudian, Kerajaan Suku Dayak yang dipimpin oleh Patih Gumantar adalah sebuah pemerintahan yang sudah berdiri sendiri sejak sekitar tahun 1380.
Patih Gumantar konon pernah mengundang Gajah Mada untuk berkunjung ke Mempawah. Hal itu dibuktikan dengan adanya keris yang dihadiahkan kepada raja, yang namanya Keris Susuhan.
Dulunya, kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Sidiniang, karena pusat pemerintahannya berada di Pegunungan Sidiniang, Mempawah Hulu.
Kerajaan Mempawah awal ini mengalami perkembangan pesat, hingga menimbulkan keinginan dari Kerajaan Biaju untuk menaklukkannya.
Ambisi Kerajaan Biaju itu mengakibatkan pecah perang antara Mempawah dan Biaju, yang menewaskan Patih Gumantar.
Sepeninggal Patih Gumantar, kekuasaan jatuh ke tangan anaknya yang bernama Patih Nyabakng, di mana Mempawah mengalami kemerosotan dan tidak terdengar lagi.
Baru 1610, muncul tanda-tanda keberadaan Menpawah yang dipimpin oleh Panembahan Kudung, yang bergelar Panembahan Yang Tak Berpusat.
Raja Kudung ini kemudian memindahkan pusat pemerintahan Mempawah dari Sidiniang ke Pekana.
Raja Kudung memerintah hingga meninggal pada 1680. Setelah itu, takhta kerajaan dipegang oleh Panembahan Senggauk, yang memiliki istri bernama Putri Cermin dari Indragiri, Sumatera.
Dari pernikahannya itu, raja dikarunai putri bernama Ratu Mas Indrawati, yang akhirnya dinikahkan dengan Panembahan Muhammad Zainuddin, dari Kerajaan Matan.
Karena tidak memiliki keturunan laki-laki, takhta Panembahan Senggauk diserahkan kepada suami cucunya yang bernama Opu Daeng Menambun pada 1740.