Putusan MK: Napas Baru bagi Demokrasi atau Ancaman Stabilitas Politik?
15-November-24, 09:20PADA 20 Agustus 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang berdampak signifikan terhadap sistem politik Indonesia.
Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora, secara substansial mengubah aturan pencalonan kepala daerah dalam Pilkada.
Putusan ini menyetujui penurunan ambang batas partai politik untuk pencalonan kepala daerah dan menetapkan usia minimum bagi calon kepala daerah.
Dampaknya terhadap demokrasi dan stabilitas politik langsung menuai beragam reaksi dari berbagai kalangan.
Salah satu poin utama dari putusan ini adalah penurunan ambang batas pencalonan kepala daerah dari 25 persen atau 20 kursi di parlemen menjadi hanya 7,5 persen dari total perolehan kursi masing-masing partai.
Secara teoritis, langkah ini dipandang sebagai upaya memperkuat demokrasi di Indonesia. Dalam sistem demokrasi yang sehat, akses yang adil bagi partai-partai kecil untuk mencalonkan kandidat mereka sendiri merupakan elemen penting.
Sebelumnya, ambang batas yang tinggi sering kali menjadi penghalang bagi partai-partai kecil, memaksa mereka untuk bergabung dalam koalisi besar yang dapat mengurangi variasi pilihan bagi pemilih (Liddle, 2022).
Dengan ambang batas lebih rendah, MK telah membuka pintu bagi lebih banyak partai untuk berpartisipasi aktif dalam Pilkada. Hal ini tidak hanya meningkatkan kompetisi, tetapi juga memperluas pilihan bagi masyarakat di berbagai daerah.
Di wilayah seperti Sulawesi Selatan, Jakarta, Banten, dan Sumatera Utara, yang sebelumnya terancam "kotak kosong," kini muncul peluang bagi lebih banyak kandidat untuk berkompetisi, memperkuat proses demokrasi di tingkat lokal (Menchik, 2023).
Namun, dampak dari penurunan ambang batas juga menimbulkan potensi tantangan baru, terutama dalam konteks koalisi politik di tingkat daerah.
Dengan ambang batas lebih rendah, partai-partai kecil yang sebelumnya harus berkoalisi dengan partai besar untuk memenuhi syarat pencalonan kini dapat mencalonkan kandidat mereka sendiri tanpa harus membentuk koalisi.
Ini berpotensi menyebabkan fragmentasi dalam koalisi yang ada, menciptakan dinamika politik baru yang belum pernah terjadi sebelumnya di sejumlah daerah (Aspinall, 2024).
Namun, dinamika baru ini juga membawa risiko tersendiri. Fragmentasi politik dapat mengakibatkan ketidakstabilan di tingkat lokal, terutama jika partai-partai besar kehilangan kendali atas koalisi mereka.
Meskipun memberikan lebih banyak pilihan kepada pemilih, potensi konflik antarpartai yang meningkat dapat mengganggu stabilitas politik di tingkat lokal. Hal ini menjadi perhatian serius, mengingat pentingnya stabilitas politik dalam menjaga keberlangsungan pemerintahan yang efektif dan berfungsi dengan baik (Suryadinata, 2023).
Selain penurunan ambang batas, putusan MK juga menetapkan usia minimum bagi calon kepala daerah, yaitu 30 tahun untuk gubernur dan 25 tahun untuk wali kota dan bupati.
Secara teoritis, ketentuan ini bertujuan memastikan bahwa calon kepala daerah memiliki kematangan politik dan administratif yang memadai sebelum memimpin.
Dalam konteks politik Indonesia yang kompleks, syarat usia ini bisa dipandang sebagai upaya untuk menjamin bahwa para calon memiliki pengalaman cukup dalam menghadapi tantangan yang dihadapi seorang kepala daerah (Ufen, 2023).
Namun, di sisi lain, pembatasan usia ini juga bisa dianggap sebagai hambatan bagi regenerasi politik. Generasi muda yang memiliki potensi besar untuk memimpin bisa terhalang oleh aturan ini.
Sebagai contoh, kasus Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, yang usianya baru mencapai 30 tahun pada Desember 2024, menjadi contoh konkret bagaimana syarat usia ini bisa menggagalkan pencalonan tokoh muda yang dianggap memiliki prospek cerah dalam politik lokal (Said, 2024).
Tantangan berikutnya muncul ketika DPR dan pemerintah merespons cepat putusan MK dengan menggelar rapat untuk menindaklanjuti keputusan tersebut.
Dalam rapat tersebut, disepakati bahwa partai-partai yang tidak lolos ke parlemen tetap dapat mengusung calon kepala daerah dengan syarat tertentu.
Respons cepat ini menimbulkan pertanyaan tentang motif di balik langkah tersebut, terutama mengingat sering kali tindakan cepat DPR dipandang sebagai upaya untuk mengamankan kepentingan politik tertentu (Mietzner, 2024).
Manuver politik DPR ini dianggap oleh banyak pihak sebagai langkah yang dapat mengancam demokrasi dan mengkhianati amanat rakyat. Reaksi negatif dari publik pun terlihat jelas di media sosial, di mana putusan ini menjadi topik yang trending.
Ajakan untuk turun ke jalan sebagai bentuk protes menunjukkan tingkat ketidakpuasan yang tinggi di kalangan masyarakat, yang mengindikasikan krisis legitimasi yang serius jika langkah-langkah ini tidak dikelola dengan baik (Liddle, 2022).
Secara teoritis, bahkan kekuasaan absolut memerlukan saluran untuk menyalurkan aspirasi dari kelompok oposisi dan pinggiran agar tidak terjadi disrupsi yang dapat mengguncang stabilitas politik.
Dalam sejarah politik Indonesia, Suharto tetap membiarkan PDI dan PPP eksis sebagai partai oposisi untuk memberikan ruang bagi aspirasi yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk menjaga ilusi pilihan dan mencegah konflik yang lebih besar (Crouch, 2023).
Dalam konteks ini, putusan MK sebenarnya bisa dianggap sebagai upaya untuk membuka saluran bagi oposisi dan memperkuat demokrasi.
Namun, tindakan cepat dari DPR yang dapat dianggap membatasi ruang gerak oposisi justru berpotensi menutup saluran aspirasi tersebut.
Jika akses bagi oposisi terus dipersempit, demokrasi Indonesia bisa menghadapi ancaman serius dari dalam, sebuah ironi mengingat negara ini sedang berada dalam masa transisi kepemimpinan yang krusial (Menchik, 2023).
Tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan protes yang muncul sebagai respons terhadap keputusan DPR ini kemungkinan besar ditunggangi oleh kelompok oposisi.
Namun, terlepas dari siapa yang berada di balik gerakan ini, protes yang meluas adalah tanda bahaya bagi stabilitas politik.
Jika protes ini terus berkembang, terutama tanpa adanya langkah-langkah yang tepat dari pemerintah dan DPR, maka potensi krisis politik yang lebih besar bisa terjadi (Aspinall, 2024).
Saat ini, Indonesia beruntung karena tidak sedang menghadapi krisis ekonomi yang parah. Jika situasi ekonomi memburuk, krisis politik ini bisa berubah menjadi seperti krisis 1998.
Dalam situasi seperti ini, stabilitas politik yang selama ini terjaga bisa dengan cepat runtuh, mengulangi sejarah kelam yang seharusnya sudah menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini (Robinson, 2023).
Dalam spektrum lebih luas, Indonesia sebenarnya sedang dikelilingi oleh krisis politik di banyak negara lain.
Tahun 2024 adalah tahun yang penuh tantangan, dengan lebih dari 100 negara melaksanakan pemilu. Krisis ekonomi global telah mendinamisasi politik di banyak negara, menyebabkan ketidakstabilan signifikan.
Bangladesh adalah contoh terbaru dari bagaimana krisis ekonomi bisa memperburuk situasi politik di sebuah negara (Einhorn, 2024).
Secara teoritis, transisi kepemimpinan adalah salah satu periode yang paling krusial dan riskan dalam sejarah politik sebuah negara.
Dalam situasi ini, ketidakpastian politik bisa dengan mudah berubah menjadi krisis jika tidak dikelola dengan bijaksana. Indonesia saat ini berada di ambang transisi kepemimpinan nasional, yang menuntut adanya kesadaran politik yang tinggi dari semua pihak (Huntington, 1991).
Jika para pemangku kepentingan tidak mampu mengelola transisi ini dengan baik, bukan hanya stabilitas politik yang terancam, tetapi juga masa depan demokrasi di Indonesia.
Dalam konteks ini, putusan MK sebenarnya bisa menjadi alat untuk memperkuat demokrasi, asalkan implementasinya dilakukan dengan cara bijaksana dan sesuai dengan semangat reformasi (Menchik, 2023).
Seyognyanya, Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 memberikan napas baru bagi demokrasi Indonesia dengan membuka ruang lebih bagi partai-partai kecil untuk berpartisipasi dalam Pilkada.
Namun, reaksi cepat dan kontroversial dari DPR menimbulkan pertanyaan mengenai komitmen terhadap demokrasi dan potensi krisis legitimasi.
Dalam konteks transisi kepemimpinan nasional dan dinamika politik global yang sedang bergejolak, penting bagi Indonesia untuk mengelola situasi ini dengan bijaksana, guna menjaga stabilitas politik dan memastikan kelangsungan proses demokratis yang sehat.
Pada akhirnya, masa depan demokrasi Indonesia tergantung pada bagaimana kita semua, sebagai sebuah bangsa, menghadapi tantangan ini dengan kearifan dan kesadaran politik yang tinggi (Aspinall, 2024).