Tentang Amandemen UUD 1945
15-November-24, 06:12DORONGAN untuk melakukan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 semakin menguat setelah persamuhan antara Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan Presiden Joko Widodo, beberapa hari lalu.
Usulan perubahan itu menjadi serius setelah Ketua MPR dan DPD RI menyampaikan keinginan itu pada acara penting kenegaraan 16 Agustus 2023. Pidato kedua pimpinan lembaga negara pada sidang Tahunan MPR semakin memperjelas perlunya perubahan UUD 1945.
Sebelum wacana itu muncul, dorongan perubahan konstitusi telah menggema jauh-jauh hari di kalangan tokoh-tokoh politik yang selama ini menyerukan kembali Ke Undang-Undang Dasar 1945 “yang asli”.
UUD 1945 yang asli dimaksud adalah UUD yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, yang kemudian diberlakukan kembali setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dalam setiap diskusi mengenai konstitusi, wacana ini kerap mengemuka. Grup-grup WhatsApp yang diisi oleh tokoh-tokoh politik dari berbagai kalangan dengan lintas generasi yang dibuat oleh Aktivis Senior Hatta Taliwang cukup intens membahas wacana kembali ke UUD 1945 yang asli itu.
Tidak jarang terjadi silang pendapat, kalau diberlakukan UUD yang asli maka jabatan presiden tidak dibatasi dua periode.
Kemudian pasal-pasal tentang Hak Asasi Manusia, khususnya mulai pasal 28A hingga pasal 28J hasil perubahan juga lenyap.
Kembali ke UUD 1945 yang asli adalah kembali ke “kedaulatan berada di tangan Rakyat dan dilaksanakan oleh Majelis Permusyawatan Rakyat”. Otomatis pemilihan Presiden dan wakil Presiden dilakukan melalui lembaga MPR, tidak lagi menggunakan pemilihan langsung atau Pemilihan Presiden langsung sebagaimana dalam UUD NRI 1945.
Pertanyaan yang paling penting adalah, apakah mungkin ada jalan kembali ke UUD 1945? Dengan jalan apa kembali ke UUD 1945 yang asli dimaksud?
Tawarannya cukup beragam. Ada pendapat yang menawarkan harus ada revolusi hukum, yaitu presiden mengeluarkan “dekrit yang terkoordinasi”.
Dekrit presiden apapun labelnya, terkoordinasi atau tidak, memiliki kelemahan yang cukup serius. Revolusi hukum yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum.
Revolusi hukum yang berhasil harus mendapat dukungan mayoritas rakyat. Sebaliknya revolusi yang gagal, menyebabkan tindakan revolusi hukum sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum.
Pelaku revolusi yang gagal bisa diadili oleh pengadilan dengan dakwaan makar (kudeta) atau penghianatan terhadap bangsa dan negara, atau dipecat dari jabatannya oleh lembaga yang berwenang.
Masalahnya apakah presiden berani untuk mengeluarkan dekrit, sebagaimana Bung Karno keluarkan Dekrit 5 Juni 1949, membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945?
Dekrit Presiden harus didasarkan kepada dalil “staatsnoodrechts” (keadaan darurat negara) atau “noodstaatsrechts” (hukum tata negara dalam keadaan darurat) sehingga menjadi alasan untuk dikeluarkan dekrit.
Apakah keadaan itu memenuhi syarat sehingga dekrit kembali ke UUD 1945 dapat dilakukan?
Selain itu, dekrit juga ditentukan oleh kekuatan politik dan kekuatan kemananan negara (TNI dan Polisi) untuk menerima secara bulat dekrit tersebut.
Tanpa kekuatan politik yang solid dan kekuatan TNI dan Polri yang siap mengamankan dekrit itu, presiden bisa dianggap sebagai pengkhianat negara atau melakukan perbuatan tercela. Presiden bisa dikudeta.
Mengeluarkan dekrit maupun jalan lain seperti konvensi ketatanegaraan, atau referendum, tentu sulit untuk dilaksanakan.
Jalan satu-satunya yang diinginkan oleh konstitusi tercantum dalam pasal Pasal 37 ayat (1), “Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Jalan konstitusional yang terbuka adalah MPR mengagendakan sidang perubahan UUD dengan persetujuan 1/3 dari anggota MPR. Artinya membutuhkan dukungan dari anggota MPR tidak bisa di luar itu.