Menyoal Penangkapan 3 Masyarakat Adat Sihaporas, Dibawa Paksa Saat Dini Hari, Dituduh Aniaya Pekerja PT
15-November-24, 05:30Laporan kumpulan berita terkini dari berbagai media nasional - Saat sedang terlelap pada Senin (22/07) dini hari, masyarakat adat Sihaporas mengaku dikagetkan oleh kedatangan puluhan orang yang tidak mereka kenal. Lima orang warga kemudian dibawa paksa dari kampung mereka yang berlokasi di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Baru beberapa jam kemudian mereka mengetahui bahwa kelima orang tersebut ternyata ditangkap oleh Polres Simalungun. Kelimanya adalah Jonny Ambarita, Thomson Ambarita, Giovani Ambarita, Prado Tamba, dan Dosmar Ambarita.
Melalui siaran pers, Kapolres Simalungun, AKBP Choky Sentosa Meliala, mengatakan bahwa mereka ditangkap terkait kasus dugaan pengeroyokan yang dilaporkan oleh pekerja mitra PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Jonny, Thomson, dan Giovani telah ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan dua orang lainnya “sedang dalam pemeriksaan untuk menentukan status mereka dalam kasus ini”.
PT TPL adalah perusahaan produsen pulp yang area kelolanya tumpang tindih dengan wilayah yang diklaim masyarakat sebagai tanah adat mereka.
Kepada BBC News Indonesia, juru bicara PT TPL, Salomo Sitohang, menyatakan bahwa perusahaan “tidak terkait” dengan penangkapan tersebut. Menurutnya, kasus itu dilaporkan ke polisi “secara pribadi oleh korban”.
“TPL menghormati masyarakat adat dan menegaskan kasus ini adalah kriminal murni yang telah ditangani pihak kepolisian dan tidak ada hubungannya dengan masyarakat adat manapun,” kata Salomo kepada BBC News Indonesia.
Namun, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak —lembaga sipil yang mendampingi warga— mengatakan kasus ini tidak bisa dilepaskan dari kehadiran PT TPL dan konflik agraria di wilayah ini.
Menurut AMAN, komunitas adat Sihaporas tengah memperjuangkan hak atas tanah mereka yang tumpang tindih dengan area konsesi perusahaan. Akan tetapi, pengakuan itu belum mereka dapat dari pemerintah.
“Kalau perusahaan berkelit mereka tidak terlibat dalam kejadian ini, tidak bisa juga, justru karena mereka lah kejadian ini ada,” kata Hengky Manalu dari AMAN Tano Batak.
Masyarakat Sihaporas bukan satu-satunya komunitas adat yang mempertahankan hak atas tanah mereka di sekitar wilayah operasional PT TPL. Kasus ini, juga bukan kali pertama masyarakat adat di Simalungun berhadapan dengan hukum.
Pada Maret 2024, seorang kakek bernama Sorbatua Siallagan dari komunitas adat lainnya di Simalungun, Ompu Umbak Siallagan, juga ditangkap polisi karena dituduh merusak hutan di area konsesi perusahaan. Sorbatua kini menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Simalungun.
Siapa masyarakat asat Sihaporas?
Masyarakat adat Sihaporas merupakan bagian dari suku Batak Toba yang mendiami Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Simalungun, Sumatra Utara.Menurut AMAN, komunitas adat ini adalah keturunan dari Ompu Mamontang Laut Ambarita yang telah menempati kawasan ini sejak 1800-an. Mereka telah bergenerasi tinggal di wilayah itu.
Badan Restorasi Wilayah Adat (BRWA) —inisiatif organisasi sipil untuk mendokumentasikan masyarakat adat— mencatat komunitas ini memiliki wilayah adat seluas 2.093 hektare.
Sebanyak 1.345 hektare di antaranya masuk ke dalam area konsesi PT TPL.
Masyarakat adat Sihaporas mengeklaim terdapat jejak-jejak dan warisan leluhur mereka di hutan itu.
Selama ini, mereka juga hidup dari hutan tersebut dengan cara bertani dan menyadap pohon aren.
Tanaman obat-obatan yang digunakan untuk membuat ramuan dalam ritual adat juga berasal dari hutan tersebut.
Pada 1992, PT TPL mendapat izin konsesi seluas 269.060 hektare dari pemerintah. Namun setelah izin konsesi itu berulang kali direvisi, mereka kini berhak mengelola 167.912 hektare hutan tanaman industri.
Masyarakat adat Sihaporas mulai melawan kehadiran perusahaan sejak 1998, setelah jatuhnya rezim Orde Baru.
Selama lebih dari 25 tahun, berulang kali muncul konflik antara masyarakat dan para pekerja perusahaan.
Jonny dan Thomson Ambarita, yang turut ditangkap pada Senin (22/07), sebelumnya pernah divonis penjara selama sembilan bulan pada 2019 karena kasus penganiayaan yang dilaporkan oleh karyawan perusahaan.
Meski mereka mengeklaim juga dianiaya oleh karyawan perusahaan, laporan mereka ke polisi tidak jelas penyelesaiannya.
Saksi mata: orang-orang dipukuli
Pada Senin (22/07) dini hari, Nurinda Napitu dan sejumlah warga lainnya yang tengah terlelap dikagetkan oleh suara pintu yang ditendang.“Kami terkejut, terbangun. Salah satu orang memukuli kaki semua laki-laki yang tidur di situ, lalu mereka bilang, ‘Bangun, bangun!’” kenang Nurinda kepada BBC News Indonesia.
Tempat mereka bermalam itu adalah posko yang dibangun oleh warga di lahan yang mereka klaim sebagai wilayah adat masyarakat. Akan tetapi, lahan itu juga masuk ke dalam area konsesi PT TPL.
“Kami berladang di situ dan menduduki wilayah adat kami. Sebelumnya, kalau kami menanam pohon, mereka cabut. Jadi kami sepakat mendirikan posko di situ dan kami menjaganya 24 jam,” kata Nurinda.
Menurut Nurinda, ada puluhan orang yang datang malam itu. Nurinda mengaku tidak mendengar penjelasan soal siapa mereka atau mengapa mereka mendatangi posko.