Referendum Tolak Kelapa Sawit Indonesia Masuk Mahkamah Konstitusi Swiss
15-November-24, 04:41Laporan kumpulan berita terkini dari berbagai media nasional - Halaman depan dihiasi air mancur. Sejuk muncratan airnya, mengundang warga untuk mendekat. Halaman belakang ada jalan paving stone.
Auto frei, bebas kendaraan bermotor. Tak ada polisi. Tanpa pagar kawat verduri. Aman, damai, dan teratur. Begitulah suasana sehari sehari Bundeshaus, Gedung Parlemen Swiss.
Kedamaian itu terusik dengan datangnya mobil Peugeot kombi berplat nomor Jenewa. Kendaraan berwarna metalik silver itu berhenti di samping gedung Bundeshaus.
Menurunkan beberapa kotak kardus, sekaligus meletakkan di depan pintu masuk Bundeskanzlei, Mahkamah Konstitusi Swiss.
Kotak tersebut berjumlah 26 buah, sesuai dengan jumlah kanton (provinsi) di Swiss. Isinya, 59.200 tanda tangan.
"Jika disetujui, setelah diteliti keabsahannya, tentunya, referendum penolakan produk kelapa sawit Indonesia, hanya soal waktu,“ tutur Mathias Stalder, sekretaris Uniterre, kepada salah satu media nasional sebelumnya, yang dikutip oleh kumpulan berita terkini .
Mathias yakin, referendum, penentuan nasib pemasaran produk kelapa sawit, akan disetujui Makahmah Konstitusi Swiss.
Seperti biasa, ritual penyerahan kotak berisi tanda tangan untuk meminta referendum, diisi orasi dari Uniterre.
Isinya, bagaimana industri kelapa sawit menghancurkan lingkungan hidup. Sekaligus tentang keberuntungan yang diperoleh perusahaan besar. Ada puluhan wartawan, tidak terkecuali televisi Swiss dan kantor berita media arus utama.
Ronja Jansen, Presiden Juso (Jung Sozialdemokratische Partei Schweiz), berharap referendum ini akan menjadi kenyataan.
"Apa yang diakibatkan oleh Industri Kelapa Sawit sangat fatal. Lingkungan hidup di Indonesia rusak, dan juga pada akhirnya berpengaruh ke pemanasan global,“ katanya kepadasalah satu media informasi.
Ronja sendiri berada dalam dilema, karena induk partai politiknya, Sozialdemokratische Partei Schweiz (SP), ikut meneken kontrak persetujuan perdangan dengan Indonesia. "Tapi saya disini tidak mewakili SP,“ katanya.
Meski dalam perjanjian kerja sama itu ditekankan tidak ada lagi perusakan lingkungan, Ronja ragu pemerintah Indonesia bisa bersikap tegas.
"Bagaimana pengaturannya nanti. Dan bagaimana sanksinya kalau tidak ditepati perjanjiannya. Ini juga harus dipikirkan,“ imbuhnya.
Perjanjian kerjasama antara Indonesia dan Swiss, imbuh Ronja, hanya menguntungkan industri besar. "Lebih banyak mudharatnya ketimbang keuntungannya. Saya berharap, referendum akan disetujui dan rakyat Swiss yang akan menentukan,“ katanya.