WTO, Bea Keluar, dan Kebijakan Hilirisasi
15-November-24, 04:10BULAN November 2022 lalu, Panel yang dibentuk Organisasi Perdagangan Dunia/WTO di Jenewa atas sengketa Indonesia yang digugat Uni Eropa merekomendasikan agar kebijakan larangan ekspor dan kewajiban pemasaran di dalam negeri yang diterapkan oleh Pemerintah terhadap Bijih Nikel agar disesuaikan dengan aturan main WTO karena melanggar Pasal XI:1 GATT/WTO.
Kedepan, salah satu pendekatan yang perlu segera dicermati untuk menghindari kemungkinan kebijakan larangan ekspor digugat kembali negara lain dan agar kebijakan hilirisasi Indonesia tetap dapat dipertahankan adalah dengan memanfaatkan instrumen pengenaan pajak ekspor.
Pembatasan ekspor dan pajak ekspor adalah bagian dari kebijakan perdagangan yang diterapkan di banyak negara anggota WTO.
Pembatasan ekspor dapat menjadi salah satu kebijakan penting untuk tujuan pembangunan ekonomi, termasuk meningkatkan pendapatan pemerintah dan nilai tambah di sektor bahan baku, meningkatkan kelestarian lingkungan, serta memperlambat kerusakan sumber daya dan bahan baku.
Aturan multilateral tentang pajak ekspor diatur dalam Pasal XI GATT/WTO, di mana pelarangan ekspor dilarang, tetapi pajak ekspor diizinkan dalam situasi dan keadaan tertentu.
WTO telah mendefinisikan Pembatasan Ekspor (Export Restrictions) sebagai, “kebijakan di wilayah pabean yang dilakukan melalui UU atau peraturan pemerintah, yang secara tegas membatasi jumlah produk yang diizinkan untuk diekspor, atau kebijakan pemeritah yang memungut bea atau pajak terhadap produk yang diekspor yang tujuannya adalah untuk membatasi jumlah ekspor“ (WTO, Laporan Panel Measures Treating Export Restraints as Subsidies, 2001, hlm.75).
Pajak ekspor dibagi dalam bentuk ad valorem, yaitu persentase pajak dari nilai suatu produk dan pajak spesifik atas jumlah/nilai tertentu per unit produk.
Semua jenis pajak ekspor memiliki efek mengurangi volume ekspor dan karenanya kebijakan ini sering dikategorikan sebagai pembatasan ekspor.
Aturan perdagangan multilateral tidak secara tegas melarang pengenaan bea atau pajak ekspor, namun apabila kebijakan tersebut mengakibatkan efek pembatasan ekspor seperti tertuang di pasal XI:1 GATT, maka anggota lainnya berpotensi untuk melakukan gugatan ke WTO.
Manfaat Bea atau Pajak Ekspor bagi Perekonomian
Pertama, dalam literatur perdagangan internasional, kebijakan pembatasan ekspor dapat memengaruhi penurunan volume perdagangan dunia dan hilangnya efisiensi global.
Untuk menghindarinya, negara pemasok utama dapat menerapkan bea keluar untuk meningkatkan nilai tukar perdagangannya yang pada gilirannya akan meningkatkan nilai ekspornya.
Strategi ini telah terbukti lebih efektif ketika diterapkan oleh negara dengan tingkat kekuatan monopolistik atas produk tertentu karena memiliki permintaan yang sangat tidak elastis.
Pajak yang dipungut melalui bea keluar difokuskan pada produk strategis yang merupakan sumber pendapatan penting bagi negara-negara berkembang.
Kedua, bagi sebagian negara berkembang, pembatasan ekspor atas produk tertentu dapat mendorong turunnya harga di dalam negeri, sehingga memberikan manfaat bagi industri lokal yang menggunakan produk tersebut sebagai input.
Beberapa negara berkembang menganggapnya sebagai instrumen yang bermanfaat untuk pembangunan ekonomi seperti argumen "infant industry" yang menerapkan pembatasan ekspor pada produk bahan baku.