Baik, Pak Menko, Mari Lihat Data...

DALAM acara Orientasi Fungsionaris Partai Golkar pada Minggu (25/3/2018), Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dikutip pers berkata, “Jadi, kalau berkelahi pakai data....”

(Baca juga: Luhut: Kader Golkar Bicara Pakai Data, Jangan Asal Sebut Orang Ngibul)

Saya tidak sepakat dengan kata “berkelahi”. Terlebih lagi pakai ancaman sebelumnya. Kritik tajam kepada pemerintah seperti dilontarkan Pak Amien Rais itu lumrah dalam demokrasi.

Pak Amien sudah puluhan tahun mengkritisi ketimpangan penguasaan aset ekonomi Indonesia, termasuk tanah. Bahkan, pada 2008 hal tersebut ditulis dalam buku “Selamatkan Indonesia”.

(Baca juga: Amien Rais: Saya Kasih Kartu Merah untuk Jokowi)

Namun, saya setuju dengan Pak Menko soal data. Jadi, mari kita lihat data. Kita mulai dengan sertifikasi tanah. Program inilah yang menjadi andalan kebijakan pertanahan Presiden Jokowi. Untuk mudahnya, saya sebut Bagi-Bagi Sertifikat (BBS).

Pertama, pemerintah menyatakan berhasil mencapai target BBS sejumlah 5 juta bidang tanah pada 2017. Ini dimuat dalam situs Seskab, dan disampaikan Presiden dalam berbagai kesempatan.

Padahal, selama 32 bulan (2015-Agustus 2017), yang selesai sertifikasinya baru 2.889.993 bidang. Jadi rata-rata sekitar 90.300 bidang per bulan. Namun, selama 4 bulan berikutnya, ada 2,1 juta yang diselesaikan, atau 527.500 bidang per bulan. Sebuah lonjakan 5,8 kali lipat!

Tenane ta? Itu reaksi pertama saya ketika melihat datanya. Ternyata, Kementerian Agraria sendiri mengakui, jumlah bidang yang selesai baru 4,23 juta.

(Baca juga: Soal Reforma Agraria, Jokowi Dinilai Sama Saja dengan SBY)

Jadi realitasnya, BBS meleset 15,4 persen dari target! Itu pun dengan capaian per bulan yang naik 3,7 kali lipat. Namun, pemberitaan yang muncul, BBS berhasil 5 juta.

Kedua, salah satu komponen penting Reforma Agraria (RA) adalah redistribusi tanah. Ternyata kontribusi redistribusi ini sangat kecil. Sebagai misal, dalam periode 2015-Agustus 2017 terdapat 245.097 bidang tanah redistribusi yang mendapat sertifikat. Ini hanya 8,5 persen dari jumlah sertifikat! Itu pun belum jelas, apakah ada redistribusi dari korporasi besar.

(Baca juga: Sentilan Amien Rais dan Mengembalikan Reforma Agraria ke Relnya...)

Harus diakui, BBS ini pemberitaannya luar biasa. Nilai politisnya pun sangat tinggi bagi Presiden. Namun, meski saya tidak memakai istilah “pengibulan”, faktanya kinerja BBS berbeda jauh dengan pemberitaannya, khususnya dari sudut redistribusi tanah.

Padahal, BBS itu relatif lebih ringan dibandingkan RA. RA itu pelik dan kompleks. RA harus bisa mengoreksi ketimpangan penguasaan tanah dan sekaligus ketimpangan aliran manfaat dari tanah. Jika tidak tepat konsep dan implementasinya, RA bisa kontra-produktif, bahkan menghancurkan perekonomian.

Contohnya adalah Zimbabwe. Pada 2000, (mantan) Presiden Mugabe mempercepat reformasi agraria. Efeknya, Zimbabwe dihantam hyper-inflation dan kekurangan pangan yang parah, akibat ambruknya sektor pertanian.

Itulah sebenarnya esensi kritik pak Amien. Yaitu, jangan sibuk dengan BBS saja, tapi jalankan RA secara benar. Jangan sampai bernasib sama dengan Zimbabwe.

(Baca juga: Geram, Luhut Ancam Bongkar Dosa Orang yang Asal Kritik Pemerintah)

Terakhir, dari sisi data, kritik pak Amien itu konsisten dengan data Rasio Gini Lahan (RGL) yang terdapat dalam “Hasil Riset Oligarki Ekonomi”. Laporan ini dirilis pada 27 Desember 2017 oleh Megawati Institute. Pada halaman 5 terdapat angka RGL 0,55 (1973), 0,5 (1983), 0,64 (1993), 0,72 (2003) dan 0,68 (2013), dengan sumber BPS.

Silakan dihitung sendiri, jika 1 persen sampai 2 persen penduduk menguasai 74 persen lahan, berapa RGL-nya. Mudah kok menghitungnya. Di sisi lain, Walhi pada 22 Maret 2018 merilis angka 82 persen lahan di Indonesia dikuasai oleh korporasi.

Karena administrasi pertanahan dan sistem informasinya masih relatif lemah, variasi data seperti di atas tidak terhindarkan. Namun, faktanya sama, ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia sangat tinggi. Bahkan sebenarnya, lebih tinggi dari ketimpangan pendapatan.

Sebagai penutup, saya mendukung percepatan sertifikasi tanah. Namun, jangan lalu RA terabaikan sehingga ketimpangan tidak teratasi. Mohon diingat, RGL tertinggi (terburuk) itu terjadi pada 2003. Karena itu, Presiden Joko Widodo punya kewajiban moral yang lebih besar untuk mengoreksinya.

https://nasional.kompas.com/read/2018/03/27/18082151/baik-pak-menko-mari-lihat-data