Mengurangi Kecelakaan di Perlintasan Sebidang Kereta Api

MASIH segar dalam ingatan kita kecelakaan di lintasan tanah sebidang antara Kereta Api Berantas relasi Pasar Senen-Blitar bertabrakan dengan truk tronton pada 19 Juli 2023, di Jalan Madukoro, Semarang, Jawa Tengah.

Pada bulan yang sama, tepatnya 29 Juli 2023, terjadi kembali tabrakan kereta api di perlintasan tanpa palang pintu di Jalan Dusun Gondekan, Desa Jabon, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, antara mobil penumpang dan kereta api.

Akibat kecelakaan ini, enam orang penumpang mobil tewas di lokasi kejadian dan dua orang mengalami luka berat dirawat di RSUD Jombang (salah satu media nasional, sesuai yang dikompilasi kumpulan berita terkini 30/7/2023).

Rentetan kecelakaan kereta api di perlintasan tanah sebidang tidak semata karena hazard pada lokasi tersebut, tetapi juga perilaku pengemudi yang tidak tertib.

Data dari PT KAI, jumlah lintasan kereta api yang terjaga sebanyak 1.396 atau 31,23 persen dan tidak terjaga sebanyak 3.075 atau 68,77 persen.

Banyaknya jumlah lintasan kereta api yang tidak terjaga pastinya meningkatkan risiko kecelakaan di lokasi tersebut. Masalah ini perlu jadi perhatian semua pihak, segera dicarikan solusi agar tidak ada lagi korban.

Pada peristiwa kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kereta api dan moda kendaraan lain, sesuai pasal 90 butir d dan pasal 124 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretapian (selanjutnya disebut UU Perkeretapian) mengatur bahwa pada perpotongan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pemakai jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api.

Norma ini mengatur bahwa kereta api yang menggunakan jalan rel mendapatkan prioritas. Para pengemudi/pengguna jalan raya harus memahami aturan ini.

Menurut Hartono, secara teknis, saat kereta api berjalan dengan kecepatan penuh, maka situasi di perlintasan harus dapat terlihat oleh masinis sedikitnya pada jarak 1.000 meter.

Jika jarak terlihat tersebut tidak tercapai, maka setiap benda yang merintangi perjalanan kereta api di perlintasan dipastikan akan tertabrak kereta api.

Kecelakaan juga pasti akan terjadi jika jarak pandang masinis mencukupi, tetapi secara tiba-tiba melintas kendaraan di perlintasan pada saat jarak kereta api dengan kendaraan lebih kecil dari jarak pengereman.

Jarak pengereman kereta api ini seharusnya juga perlu diketahui pengguna jalan yang sering melalui pintu perlintasan kereta api, terutama perlintasan yang tidak dijaga.

Jika semua pengguna jalan bisa memahami, maka kemungkinan besar kecelakaan kereta api yang selama ini terjadi (selain anjlogan) dapat dihindari atau setidaknya mengurangi risiko (Ir. Hartono AS, MM dalam majalah Jalan Rel No. 1 Tahun Ke-1 tanggal 28 September 2001).

Jalur atau rel kereta api (KA) memang berpotensi mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. Jika mengacu pada ketentuan UU Perkeretapian di atas, bila terjadi kecelakaan di perlintasan kereta api yang melibatkan pengguna jalan, dapat dipastikan bahwa kecelakaan itu diawali oleh pelanggaran yang dilakukan pengguna jalan, bukan operator KA/masinis.

Hal ini sejalan dengan pasal 114 UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (selanjutnya disebut UU LLAJ), menyatakan: “Pada pelintasan sebidang antara jalur KA dan jalan, pengemudi kendaraan wajib berhenti ketika sinyal sudah berbunyi dan palang pintu KA sudah ditutup, serta wajib mendahulukan KA”.

Berdasarkan norma di atas, maka kalau ada kendaraan yang mengalami tabrakan dengan kereta api di perlintasan kereta api, maka hal itu kesalahan dari pengendara tersebut.

Dengan demikian, peristiwa itu termasuk perbuatan melawan hukum karena akibat perbuatan pengendara dapat menyebabkan orang lain mengalami cidera atau meninggal dunia.

Akibat hukum yang dilakukan pengendara di atas sesuai pasal 296 UU LLAJ dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan.

Sedangkan pada pasal 359 KUHP menyatakan: ”Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”

Adapun pasal 360 ayat (1) KUHP, menyatakan: “Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun”.

Perlindungan warga negara pada hakikatnya adalah tugas negara. Hal itu sesuai pembukaan UUD 1945 pada aline ke IV yang menyatakan: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,...”

Pembukaan UUD 1945 tersebut secara jelas mengamanatkan tujuan negara harus dijalankan.

Menurut Frans Magnis Suseno, tujuan negara adalah penyelenggaraan kesejahteraan umum, membagi tugas negara dalam tiga kelompok, yaitu :

  1. Negara harus memberikan perlindungan kepada para penduduk dalam wilayah tertentu; perlindungan terhadap ancaman dari luar negeri dan dalam negeri; perlindungan terhadap ancaman penyakit atau terhadap bahaya-bahaya lalu lintas;
  2. Negara mendukung, atau langsung menyediakan berbagai pelayanan kehidupan masyarakat dalam bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan;
  3. Negara menjadi wasit yang tidak memihak antara piak-pihak yang berkonflik dalam masyarakat serta menyediakan suatu sistem yudisial yang menjamin keadilan dasar dalam hubungan sosial masyarakat.(Frans Magnis Suseno, dalam Ilmu Negara, Nimatul Huda, Penerbit Rajawali Pers, cetakan ke 8, Agustus 2016, hal 57).

Implementasi negara terkait penyelenggaraan kesejahteraan umum dalam konteks perlindungan penduduknya terhadap ancaman dari bahaya kecelakaan kereta api tercermin pada Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 94 Tahun 2018 Tentang Peningkatan Keselamatan Perlintasan Sebidang Antara Jalur Kereta Api Dengan Jalan.

Dalam pasal 2 ayat (1) menyatakan :

“Untuk menjamin keselamatan perjalanan kereta api dan keselamatan masyarakat pengguna Jalan, Perlintasan Sebidang yang telah beroperasi sebelum Peraturan Menteri ini berlaku dan belum dilengkapi dengan Peralatan Keselamatan Perlintasan Sebidang, harus dilakukan pengelolaan oleh:a. Menteri, untuk Jalan nasional;b. gubernur, untuk Jalan provinsi;c. bupati/wali kota, untuk Jalan kabupaten/kota dan Jalan desa; dand. badan hukum atau lembaga, untuk Jalan khusus."

Menurut penulis, peraturan PM 94 Tahun 2018 di atas sudah sejalan dengan pendapat Frans Magnis Suseno, di mana negara menjalankan peranannya, yaitu memberikan perlindungan warga negaranya dari bahaya lalu lintas, sehingga harus dipastikan bahwa setiap jalan perlintasan sebidang harus difasilitas oleh peralatan keselamatan perlintasan sebidang pada jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota dan jalan khusus.

Peranan menteri, gubernur, bupati/wali kota, serta badan hukum atau lembaga harus secara konsisten memprogramkan secara intensif pemberian fasilitas peralatan keselamatan perlintasan sebidang dengan memberikan skala prioritas dalam penyusunan APBN dan APBD.

Berdasarkan data Direktorat Keselamatan Perkeretaapian Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan, periode 2014-2018, kecelakaan lebih banyak terjadi pada perlintasan yang tidak terjaga.

Rinciannya, 205 kecelakaan di perlintasan sebidang yang dijaga dan 1.174 kecelakaan di perlintasan yang tidak dijaga. Jika diambil rata-rata, maka setiap bulan terjadi 23 Kecelakaan di perlintasan tanah sebidang.

Sementara jumlah korbannya, yakni 257 orang meninggal, 422 orang luka berat, dan 241 orang luka ringan.

Hasil penelitian yang dilakukan Universitas Indonesia bekerjasama dengan Universitas Gajah Mada pada 2002 diketahui bahwa korban kecelakaan lalu lintas juga berdampak pada keluarganya.

Sebanyak 62,5 persen keluarga dari korban yang tewas berpotensi menjadi miskin. Sedangkan 20 persen keluarga dari korban yang terluka berpotensi menjadi miskin.

Penulis berharap, pemberlakuan peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 94 Tahun 2018 tidak memperlambat pemberian perlindungan kepada pengguna jalan, tapi justru dapat bergotong-royong antara pemerintah pusat dan daerah untuk mengatasi persoalan perlintasan jalan sebidang yang belum memiliki fasilitas peralatan keselamatan.

Pembelajaran yang bisa kita ambil adalah inisiasi Polda Jawa Timur yang serius dalam memberikan perlindungan terhadap masyarakat terkait banyaknya korban kecelakaan lalu lintas di perlintasan kereta api.

Polda Jawa Timur menginisiasi stake holder untuk lebih peduli terhadap kecelakaan di perlintasan sebidang kereta api.

Pelaksanaan Rakor pada 4 Januari 2023 yang diikuti oleh Forkompimda Jawa Timur, Jajaran bupati, wali kota, kapolres, dinas perhubungan dan Kemenhub menghasilkan kesepakatan 20 kabupaten/kota bersedia membangun dan menganggarkan dana untuk pembangunan palang pintu di perlintasan kereta api.

Polda Jawa Timur kemudian memberikan penghargaan kepada pimpinan daerah yang peduli terhadap keselamatan rakyat, yakni enam kabupaten/kota dalam proses pembangunan pos dan palang pintu serta 14 kabupaten/kota dalam proses penganggaran pos dan palang pintu.

Peranan Polda Jawa Timur dalam penegakan hukum di atas, sejalan dengan teori efektifitas hukum yang disampaikan Lawrence M. Friedman yang mengatakan bahwa sistem struktural menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik.

Hukum tidak bisa ditegakkan bila tidak ada aparat penegak hukum yang memiliki kredibilitas, kompeten, dan independen.

Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik, maka keadilan hanya angan-angan.

https://regional.kompas.com/read/2023/09/07/15594411/mengurangi-kecelakaan-di-perlintasan-sebidang-kereta-api