Kisah Ayu, Bidan Dompet Dhuafa yang Bantu Persalinan Saat Karhutla
15-November-24, 00:22Laporan kumpulan berita terkini dari berbagai media nasional - Lembaga filantropi Islam Dompet Dhuafa terus berupaya membantu pemerintah menanggulangi stunting, deteksi penyakit tidak menular, hingga meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak.
Salah satu upaya itu diwujudkan melalui program Bidan Untuk Negeri (BUN) melalui Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC).
Program pemberdayaan itu tidak hanya membantu pelayanan kesehatan masyarakat, tetapi juga menghasilkan sosok-sosok inspiratif, salah satunya adalah Ayu Widianti (29).
Dia adalah bidan asal Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel) yang tengah mengemban amanah di Desa Tanjung Mas, Kecamatan Rantau Alai, Kabupaten Ogan Ilir.
Sejak 2022, Ayu merantau di Tanjung Mas untuk mengikuti program BUN hingga akhir 2024.
Selama pengabdiannya itu, Ayu pernah mengalami momen-momen menarik, salah satunya ketika menangani ibu hamil di pedesaan yang masih terbiasa melahirkan sendiri.
Asal tahu saja, masyarakat di tempat tersebut hanya memanggil tenaga kesehatan (nakes) atau bidan dalam keadaan emergency saat melahirkan.
Makanya tak heran, Ayu pernah mendapati seorang ibu yang sedang memeriksa kehamilan dan belum ada pembukaan. Namun, saat diperiksa lagi, ternyata tali pusatnya sudah keluar atau menumbung dan melintang.
“Yang dikhawatirkan itu masyarakat walau ramai, tetapi belum tahu betul apakah ini kondisi emergency dan harus dirujuk atau tidak,” katanya dalam siaran pers, Selasa (30/4/2024).
Mengingat di sana belum ada ambulans, sang ibu selamat, tetapi janinnya tidak.
“Jadi, aku lebih meningkatkan kelas ibu hamil di sini. Pernah juga saat itu tengah malam, sedang hujan, ada emergency. Mau enggak mau harus kami rujuk ke Palembang. Itu jauh dan terdekat lewat jalur sungai,” katanya.
Untuk kasus lainnya, Ayu bercerita pernah menangani ibu melahirkan saat ada kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
“Karhutla lagi parah kabut tebal lewat jalur sungai, sampai akhirnya ada yang melahirkan di perahu ukuran sempit dan penerangan seadanya,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, kata dia, ibu hamil yang datang kepadanya sulit untuk evakuasi. Pasalnya, ibu hamil yang biasanya berpostur yang biasanya besar dan hanya dampingi suami sampai di pelabuhan membuatnya sulit dievakuasi.
“Ya, inilah tantangan di daerah pedalaman. Ini yang paling saya ingat,” ujarnya.
Ayu mengatakan, dengan situasi seperti itu, dia sama sekali tidak merasa sebagai pahlawan. Sebaliknya, dia malah berpikir bahwa sang pasien harus selamat bagaimana pun caranya.
Dia sadar betul bahwa situasi di lapangan, tantangan saat darurat, dan kondisi pasien berbeda-beda. Jadi hanya satu yang jadi prinsipnya, yakni bekerja dengan sepenuh hati.
“Pokoknya selamat dulu, tidak mikirin yang lain lagi. Entah karena dorongan apa, sudah makan atau belum, pakai sendal jepit, kalau saya enggak peduli, yang penting saya tolong dulu,” ujarnya sambil tertawa.
Meski demikian, Ayu menyadari setiap situasi berbeda-beda sehingga dia ingin melakukan yang terbaik saja dan sepenuh hati.
Adapun salah satu faktor program BUN hadir di Desa Tanjung Mas adalah karena desa ini merupakan lokasi tinggi stunting.
Hasil analisis Ayu menyebutkan, Desa Tanjung Mas memiliki sekitar 20 anak stunting dengan satu anak terindikasi down syndrome.
“Kalau anak down syndrome dan stunting jadi mudah sakit, tidak bisa diatasi dengan makanan, harus pengobatan rujuk ke puskesmas kemudian ke rumah sakit,” katanya.
Dia mengantarkan anak tersebut ke rumah sakit (RS). Pasalnya jika tidak diantar ke RS, terkadang anak tersebut tidak berobat mengingat kondisi ekonomi keluarga yang kekurangan.
“Nah, kami (LKC) juga ada layanan Pos Gizi yang sudah setahun ini bergulir di sini. Alhamdulillah sekarang stunting berkurang dari 20 anak sekarang hanya lima anak. Edukasi perilaku merubah mindset ini yang terpenting,” jelas Ayu.
Pendewasaan dan pemberdayaan
Ayu menceritakan awal penempatannya di Desa Tanjung Mas. Dia mengaku khawatir dan takut berada di tempat baru, apalagi bertugas seorang diri di wilayah pedalaman.
Dia masih sedikit was-was dengan pengalaman penempatan sebelumnya. Adanya konflik sosial dan rawan akan perampokan juga dia rasakan.
Namun, mental dan pendewasaannya mulai terlatih menjadi lebih berani dan menyesuaikan keadaan.
“Di sini alhamdulillah aman, tidak seburuk yang kita pikirkan. Cuma, karena kita orang baru di sini, harus tetap ramah dan menyesuaikan,” katanya.
Ayu mengatakan, Setelah setahun di Desa Tanjung Mas, dia menyadari bahwa warga Desa Tanjung Mas itu saling membantu.
Dia menyebutkan, mereka sering membantu berkemas dan masak-masak di dapur jika ada kegiatan, seperti pelayanan yang tengah digelar. Hal itu dilakukan secara sukarela.
“Yang awalnya mungkin ada mindset tentang uang, tetapi berjalan waktu kami tahu kalau ini tentang memberi edukasi dan layanan,” ungkapnya.
Ayu mengatakan, program BUN bukan sekadar pelayanan, tetapi juga pemberdayaan. Oleh karenanya, terdapat edukasi yang meningkatkan pengetahuan, terutama pada ibu hamil.
Program tersebut menyasar para orangtua yang sebelumnya awam terhadap pelayanan kesehatan, misalnya periksa kehamilan yang masih sulit dilakukan.
Ayu mencontohkan, ada orang yang baru periksa kehamilan saat usia kandungan sudah masuk enam bulan.
Begitu pula dengan pengobatan, orang yang awam hanya melakukan pengobatan ketika sudah parah, bukan selagi bisa dicegah.
“Misalnya di sini, dari yang awalnya masyarakat hanya diberi obat saat ada pengajian. Kini, pelayanan kesehatan tersentral di rumah atau Pos layanan sehat BUN ini. Itu pun mulanya tidak mudah untuk mengajak mereka datang,” katanya.
Terkait hal itu, Ayu melakukan pendekatan ke kader dari rumah ke rumah dan mulut ke mulut.
“Dari penerima manfaat layanan hanya 10 orang, tambah 15 orang, sekarang alhamdulillah meningkat 30-an orang bisa datang tiap ada layanan. Selebihnya warga yang aku sambangi rumah ke rumah,” jelasnya.
Adapun mata pencaharian masyarakat di Desa Tanjung Mas umumnya adalah buruh tani dan sebagian kecilnya nelayan. Rumah-rumah panggung dengan satu rumah dihuni dua bahkan empat kartu keluarga (KK).
Selain terdapat stunting, lansia, dan dhuafa, kebanyakan ibu hamil di Desa Tanjung Mas masih berusia di bawah 25 tahun dan dengan awamnya edukasi terkait kesehatan kandungan itu sendiri.
Tidak ingin jadi bidan
Meski menjadi bidan berdedikasi tinggi, Ayu ternyata sebelumnya tidak memiliki ketertarikan dengan bidan atau pada bidang kesehatan. Dia justru ingin menjadi tentara.
Namun, pada suatu momen, seorang kerabat dari orangtuanya menginspirasi dirinya untuk memilih universitas beserta jurusan akademi yang akan ditempuh.
Meski awalnya tidak langsung mengiyakan, Ayu malah makin dalam menyelami kebidanan.
“Setelah menjalani dan sudah sejauh ini, aku dapat banyak hal dan itu bukan sekedar ilmu tapi juga pengalaman dan pembelajaran,” ungkapnya.
Untuk itu, dia meneruskan sekolah di D3 Kebidanan di Palembang. Kemudian, dia melanjutkannya di D4 di Jawa Timur dengan minat pendidikan klinis dan penyidik.
Setelah lulus, Ayu mengemban tugas sebagai bidan pada 2015. Dia bertugas sebagai bidan desa di puskesmas dan klinik di sebuah desa di Palembang, dengan wilayah yang juga jauh dari kediaman, tetapi tidak menetap.
“Ya, aku (tugas) di Desa Tanjung Mas ini dua tahun. Bukan kali pertama ke pedalaman, tapi kali ini menetap, situasinya juga berbeda tiap desa. Jauh, sekitar seratusan kilometer, melewati tiga kabupaten lah dari rumah (Banyuasin) ke sini (Ogan Ilir),” ujarnya.
Ayu mengatakan, di dunia kebidanan, ada yang harus melaksanakan ujian dan pengalaman untuk praktik.
“Bertemu lingkungan baru dengan masalah berbeda. Padahal sebelumnya, aku bukan orang yang sering sosialisasi,” katanya.
Dia mengatakan, sekarang dia harus bertemu dengan banyak orang di wilayah berbeda-beda dengan karakteristik dan lingkungan yang berbeda pula.
“Aku jadi menyadari akan penyesuaian dan pendewasaan diri. Ada pendekatan-pendekatan yang mesti aku lakukan dengan masyarakat di pedalaman yang mungkin awam dengan edukasi atau program-program kesehatan,” jelasnya.
Suatu waktu, Ayu melihat teman ikut beberapa tes program bidan desa. Ia pun terdorong untuk mulai mencari tes serupa.
Setelah beberapa kali mencoba dan gagal, gayung bersambut, Ayu melihat selebaran informasi program BUN Dompet Dhuafa di media sosial untuk mengisi kebutuhan layanan di Sumsel, wilayah yang ia harapkan.
“Waktu cari-cari program Bidan Desa, kebanyakan lihat informasi untuk penempatan wilayah luar Sumsel. Ada yang Aceh, Pulau Jawa dan lainnya,” katanya.
Sementara itu, orangtuanya masih ingin dia di wilayah Sumsel. Dia pun bersyukur adanya program BUN Dompet Dhuafa di Sumsel dan berhasil melewati tes yang dibutuhkan.
“Aku menyebutnya BUN itu ‘Ngaji Layanan’. Jadi, tugas kita dengan urusan sosial pemberdayaan dan kemanusiaan sangat erat,” katanya.
Ayu menyebutkan, rasa manusia tetap harus ada sehingga diharapkan jika nanti aku bisa buka praktik sendiri, bukan sekedar bisnis tapi juga ada sisi sosialnya.
Karena seperti yang sudah aku alami dan lihat langsung, masih banyak yang tinggal di pedalaman dengan tantangan daerahnya dan masyarakat yang dhuafa juga,” tuturnya.
Meningkatkan akses kesehatan di pelosok
Adapun Dompet Dhuafa meluncurkan program BUN yang tersebar di beberapa titik Indonesia sejak Juni 2021, yakni Sumatera Selatan, Banten, Sulawesi Utara, dan Papua.
Program tersebut bertujuan membantu pemerintah meningkatkan akses kesehatan masyarakat pada proses pelayanan persalinan hingga ke pelosok tanah air.
Sebab, kurangnya akses pelayanan persalinan di pelosok daerah menjadi hal yang dikhawatirkan untuk keberlangsungan kualitas para generasi penerus.
Selain itu, salah satu indikator kesejahteraan masyarakat di suatu negara adalah angka kematian ibu dan balita.
Oleh karena itu, upaya meningkatkan kesehatan ibu dan anak perlu mendapatkan perhatian yang khusus.
Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) juga menobatkan Indonesia sebagai negara dengan kasus stunting tertinggi keempat di dunia.
Tak heran, bidan menjadi ujung tombak pada perkembangan seribu hari pertama kelahiran anak. Bidan juga merupakan seorang mitra perempuan yang mengawal kesehatan perempuan sepanjang siklus kehidupan.
General Manager Kesehatan Dompet Dhuafa Yeni Purnamasari menuturkan, tugas utama para bidan pada program BUN adalah memberikan pelayanan sekaligus mengemban program pemberdayaan kesehatan masyarakat.
Para bidan juga harus mampu berkoordinasi dengan puskesmas dan pemerintah setempat untuk memperkuat menjalankan program-programnya.
Dompet Dhuafa memberikan pembekalan kepada enam bidan dengan berbagai pelatihan selama tiga minggu bersama LKC Dompet Dhuafa.
Pembekalan mengenai Program BUN tidak sekadar pelayanan bidan desa, tetapi juga tentang pemberdayaan sosial. Bukan hanya persalinan, BUN juga memiliki pembekalan terkait pemberdayaan pengurangan stunting.
“Pelatihan ini sangat berguna sebagai bekal para bidan yang akan menempati daerah terpencil, yang masyarakatnya mungkin masih awam terhadap pengetahuan tentang kehamilan, juga kesehatan ibu dan anak,” jelasnya.
Selain itu, Yeni menyebutkan, kehidupan di pelosok sangat jauh berbeda dengan kehidupan di perkotaan.
Program BUN bergulir selama dua tahun, termasuk dengan bidan tersebut. Setelahnya, program BUN akan berkembang menjadi sebuah kawasan sehat.