Ekosistem Filantropi Indonesia dan Maturitas Big Data
14-November-24, 23:56MENURUT laporan The 2022 Global Philanthropy Environment Index, salah satu kesenjangan terbesar dalam ekosistem filantropi di Indonesia adalah kurangnya data yang komprehensif.
Selama ini, data dikumpulkan tanpa dukungan sistem dan manajemen data yang tepat, sehingga lembaga filantropi relatif belum siap dengan pertumbuhan data dalam skala besar.
Sejatinya, perkembangan informasi tentang filantropi dalam lingkup ekosistem virtual akan meningkatkan volume data dalam jumlah besar (big data).
Hudaefi (2021) dalam riset zakat bertajuk "Zakat administration in times of COVID-19 pandemic in Indonesia: a knowledge discovery via text mining" menyebutkan, maraknya fenomena virtual akan mendorong revolusi pengelolaan data filantropi, sehingga akan membentuk teori filantropi sosio-ekonomi baru yang berasal dari informasi ekosistem virtual.
Integrasi big data dan pengelolaan filantropi pada akhirnya membentuk solidaritas virtual ekonomi dan sosial baru. Solidaritas virtual akan membentuk kekuatan kolektif dan memperkuat masyarakat menghadapi masa-masa sulit.
Seiring dengan pertumbuhan kinerja lembaga filantropi, volume data itu terus bertambah dari hari ke hari. Akibatnya, evolusi big data tidak dapat dihindari.
Saat ini, big data harus menjadi salah satu sumber informasi untuk sebuah kebijakan. Maka, sumber data tidak hanya dari database konvensional tetapi juga dari big data yang setiap detik terus mengalami pertumbuhan.
Hal ini perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan filantropi nasional, sebab big data mampu mengekstrak informasi secara sistematis dan menangani akumulasi data yang terlalu besar atau kompleks untuk ditangani oleh perangkat lunak aplikasi pemrosesan data konvensional.
Sejumlah tantangan
Tantangan utama dalam menangani sejumlah besar data terkait dengan lima karakteristik big data yaitu volume, kecepatan (velocity), variasi (variety), kebenaran (veracity) dan nilai (value). Data tersebut harus dikelola dengan hati-hati oleh lembaga filantropi karena data filantropi berada dalam informasi yang masif dan tidak terstruktur, sebagian besar dalam bentuk numerik, teks dan citra, ada kebutuhan lembaga filantropi untuk beralih ke mekanisme manajemen data yang holistik.
Perbaikan manajemen data lembaga filantropi yang lebih terstruktur dalam mengelola volume data besar mampu mengoptimalkan transparansi pelaporan yang lebih baik, melahirkan keputusan yang tepat dan menanamkan keyakinan dan kepercayaan masyarakat pada pengelolaan dan distribusi filantropi yang lebih baik.
Dengan melibatkan analitis big data, lembaga filantropi secara bersamaan bisa meningkatkan kinerja filantropi sekaligus secara berkala agar dapat meningkatkan distribusinya. Dengan meningkatnya jumlah filantropi yang dikumpulkan dari berbagai sumber, lembaga filantropi harus mengelola dan mengamankan bertambahnya data setiap hari.
Dengan mengelola data yang terus bertambah, lembaga filantropi harus bisa memanfaatkannya untuk meningkatkan kinerja filantropi secara gradual. Akibatnya, saat ini tingkat pertumbuhan jumlah data yang dikumpulkan terus menunjukkan perkembangan yang menggembirakan.
Tantangan bagi departemen teknologi informasi (TI) lembaga filantropi adalah tingkat pertumbuhan ini dengan cepat melampaui kemampuan lembaga untuk mengelola datanya secara efektif dan menganalisis data filantropi untuk mengekstrak “interpretasi data” yang berarti bagi pengambilan keputusan yang lebih akurat guna memastikan kinerja filantropi yang lebih efektif.
Langkah strategis
Agar berhasil mengimplementasikan teknologi big data sebagai alat analisis dalam membangun ekosistem filantropi yang lebih komperhensif, dibutuhkan langkah strategis.
Pertama, lembaga filantropi harus terlebih dahulu mendapatkan kumpulan data yang sesuai, yang akan menopang kemampuan big data lembaga tersebut (Moore, 2014). Dengan demikian, big data berfungsi sebagai solusi strategis kritis bagi lembaga filantropi, mengoptimalkan dan memastikan bahwa informasi penting tentang pengelolaan filantropi dikelola dengan baik.