Jerat Ketidakadilan: Mengurai Benang Kusut Ketenagakerjaan di Indonesia
Potret Pilu Dunia Kerja: Ketika Hak dan Martabat Pekerja Tergadaikan
Baru-baru ini, jagat maya dihebohkan dengan video viral yang memperlihatkan ratusan pencari kerja berdesakan di Batam demi menyerahkan lamaran kerja. Ironi ini hanyalah secuil gambaran dari realitas pahit ketenagakerjaan di Indonesia, di mana antrean panjang pencari kerja menjadi pemandangan yang lazim.
Di sisi lain, temuan Wakil Menteri Ketenagakerjaan terkait praktik penahanan ijazah di sebuah perusahaan di Surabaya, semakin menambah kelam potret ketenagakerjaan. Praktik yang merendahkan martabat pekerja ini seolah menegaskan bahwa pekerja hanyalah komoditas, bukan manusia yang memiliki hak asasi.
Realitas ini bukan fenomena baru. Ini adalah akumulasi dari berbagai persoalan yang mendera pekerja Indonesia dari hulu hingga hilir: kesulitan mencari kerja, proses rekrutmen yang diskriminatif, kondisi kerja yang tidak manusiawi, hingga masa pensiun yang memprihatinkan.
Persaingan Sengit dan Praktik Kotor
Setiap bulan, jutaan lamaran kerja membanjiri perusahaan-perusahaan di Indonesia. Persaingan ketat ini memicu berbagai praktik tidak sehat, seperti pencaloan ilegal, penggunaan koneksi orang dalam (ordal), nepotisme, dan diskriminasi. Ironisnya, kompetensi seringkali dikesampingkan, digantikan oleh "jalur belakang" yang penuh intrik.
Kultur "ordal" dan nepotisme, terutama di BUMN dan lembaga pemerintahan, menjadi rahasia umum. Praktik ini kerap melibatkan suap dan praktik korupsi lainnya.
Lebih memprihatinkan lagi, kasus kekerasan seksual terselubung seperti "staycation" sebagai syarat perpanjangan kontrak kerja, mencerminkan betapa rentannya posisi pekerja, terutama perempuan. Komnas Perempuan pun mengakui bahwa kasus serupa kerap terjadi di berbagai sektor industri.
Diskriminasi dalam rekrutmen juga menjadi persoalan serius. Batasan usia, tinggi badan, penampilan fisik, dan berbagai persyaratan non-esensial lainnya seringkali menjadi penghalang bagi pencari kerja yang kompeten. Negara pun seolah melegitimasi praktik ini, seperti yang terlihat dalam penolakan Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan terkait batasan usia dalam UU Ketenagakerjaan.
Jeratan Ekonomi dan Minimnya Kesejahteraan
Masalah pekerja tidak berhenti saat mereka berhasil mendapatkan pekerjaan. Banyak yang terperangkap dalam kondisi minim kesejahteraan. Istilah "pekerja Senin-Kamis" menggambarkan realitas di mana gaji hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup hingga pertengahan minggu. Pinjaman online (pinjol) menjadi solusi instan yang justru menjerat pekerja dalam lingkaran utang.
Kebijakan pengupahan, termasuk upah minimum dan struktur pengupahan, juga menjadi sorotan. Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) seringkali tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup layak, terutama di kota-kota besar. Pelanggaran terhadap aturan upah minimum pun masih marak terjadi, dengan perusahaan yang melakukan berbagai manipulasi untuk menghindari kewajiban membayar upah sesuai ketentuan.
Masa Pensiun yang Memprihatinkan
Banyak pekerja yang mengalami kesulitan finansial setelah memasuki masa pensiun. Riset Asian Development Bank (ADB) menunjukkan bahwa sekitar 50 persen pensiunan di Indonesia bergantung pada bantuan keuangan dari anak-anak mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh minimnya perencanaan keuangan, gaya hidup yang tidak sesuai kemampuan, dan absennya dana pensiun yang layak dan merata.
Menolak Diskriminasi dan Dogma yang Membelenggu
Diskriminasi dalam rekrutmen, seperti pembatasan usia dan tuntutan penampilan fisik, masih menjadi persoalan serius. Praktik ini menciptakan eksklusi sosial dan mempersempit akses masyarakat terhadap kesempatan kerja yang adil. Negara-negara maju telah memiliki regulasi yang melarang diskriminasi dalam berbagai bentuk, namun Indonesia masih tertinggal dalam hal ini.
Selain itu, dogma "sudah bekerja, jangan banyak menuntut" masih mengakar kuat di masyarakat. Dogma ini membungkam pekerja dan melanggengkan ketidakadilan. Pekerja harus berani menuntut hak-hak mereka, dan negara harus hadir untuk melindungi mereka.
Jalan Keluar: Reformasi Sistem Ketenagakerjaan
Potret buram ketenagakerjaan Indonesia membutuhkan solusi yang komprehensif dan sistemik. Berikut beberapa usulan yang dapat menjadi awal dari perbaikan nyata:
- Reformasi sistem rekrutmen: Hentikan praktik diskriminatif dan fokus pada kompetensi.
- Tinjau ulang sistem pengupahan: Pastikan upah mencerminkan nilai kerja yang adil.
- Perkuat pengawasan ketenagakerjaan: Tindak tegas pelanggaran hak pekerja.
- Perluas perlindungan pekerja informal: Integrasikan mereka ke dalam sistem jaminan sosial.
- Perluas peluang kerja di pasar global: Tingkatkan kualitas tenaga kerja dan manfaatkan potensi remitansi.
Dengan membangun sistem ketenagakerjaan yang adil, transparan, dan manusiawi, Indonesia dapat mengubah ketenagakerjaan dari beban menjadi kekuatan bangsa.