Direktur Pemberitaan Diduga Terima Ratusan Juta Rupiah untuk Kampanye Hitam Terhadap Kejaksaan Agung

Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap dugaan aliran dana ratusan juta rupiah kepada seorang direktur pemberitaan sebuah stasiun televisi swasta terkait dengan pembuatan dan penyebaran konten yang mendiskreditkan institusi tersebut. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, menyatakan bahwa direktur pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar, diduga menerima dana sebesar Rp 487 juta secara personal, tanpa melibatkan kontrak atau kerja sama resmi dengan perusahaan tempatnya bekerja.

"Tian menerima dana tersebut secara pribadi. Bukan dalam kapasitasnya sebagai direktur JAK TV. Karena tidak ada perjanjian tertulis antara perusahaan JAK TV dan pihak-pihak yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka," ujar Abdul Qohar dalam konferensi pers di kantor Kejagung.

Dana tersebut, menurut penyidikan, berasal dari dua orang advokat, Marcella Santoso dan Junaedi Saibih, yang kini juga telah berstatus tersangka. Modus operandi yang dilakukan adalah dengan membuat narasi negatif, yang kemudian disebarluaskan melalui berbagai platform media, termasuk media sosial dan media daring yang terafiliasi dengan JAK TV.

Salah satu contoh narasi negatif yang dibuat oleh Marcella dan Junaedi adalah terkait perhitungan kerugian keuangan negara dalam beberapa kasus yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung. Namun, perhitungan tersebut dinilai tidak akurat dan menyesatkan publik.

Kasus ini bermula dari pengungkapan dugaan suap dalam penanganan perkara di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terkait vonis lepas ekspor CPO terhadap tiga perusahaan besar, yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan beberapa tersangka, termasuk:

  • Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel), Muhammad Arif Nuryanta
  • Panitera Muda Perdata Jakarta Utara, Wahyu Gunawan (WG)
  • Kuasa hukum korporasi, Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri
  • Tiga majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ekspor CPO, yakni Djuyamto (ketua majelis), serta Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom (anggota).
  • Social Security Legal Wilmar Group, Muhammad Syafei

Kejaksaan menduga Muhammad Arif Nuryanta, saat menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, menerima suap sebesar Rp 60 miliar. Sementara itu, tiga hakim, Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom, diduga menerima suap senilai Rp 22,5 miliar. Suap tersebut diduga diberikan dengan tujuan agar majelis hakim memberikan vonis lepas (onslag van alle recht vervolging) terhadap terdakwa dalam kasus ekspor CPO tersebut. Vonis lepas sendiri merupakan putusan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi perbuatan tersebut tidak termasuk dalam kategori tindak pidana.