Tata Ruang Tak Sesuai Daya Dukung Lingkungan Picu Banjir Puncak Bogor: Pakar IPB Ungkap Penyebab dan Solusi
Analisis Pakar IPB atas Banjir di Puncak Bogor: Perencanaan Tata Ruang dan Pengawasan yang Lemah
Bencana banjir yang melanda Puncak, Bogor, pada Minggu, 2 Maret 2025, telah mengakibatkan kerusakan signifikan dan memaksa 346 warga mengungsi, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Kejadian ini mendorong Prof. Baba Barus, Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB University, untuk menganalisis akar permasalahan di balik bencana berulang ini. Prof. Barus menegaskan bahwa banjir di Puncak, meskipun bukan kawasan rawan banjir secara inheren, merupakan hasil dari ketidaksesuaian perencanaan tata ruang dengan daya dukung lingkungan.
Secara normatif, Prof. Barus menuding lemahnya perencanaan alokasi ruang sebagai penyebab utama. Ia menjelaskan bahwa perencanaan yang baik, sekalipun telah disusun, menjadi tidak efektif jika pemanfaatan ruang mengabaikan karakteristik dan daya dukung lingkungan setempat. Akibatnya, dampak negatif seperti banjir dan longsor pun tak terelakkan. Menurutnya, banjir di Puncak berulang kali terjadi karena rusaknya daerah resapan air, yang mengakibatkan peningkatan signifikan aliran permukaan air. Lebih lanjut, Prof. Barus menjelaskan bahwa meskipun Puncak secara geografis berada di daerah berlereng, banjir dapat terjadi di area dengan drainase buruk, cekungan terbatas, atau di sepanjang sungai yang mengalami perubahan kemiringan tajam.
Perubahan Pemanfaatan Lahan dan Lemahnya Pengawasan
Analisis Prof. Barus juga menyoroti perubahan pemanfaatan lahan di Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, sebagai contoh nyata permasalahan ini. Desa tersebut, yang idealnya didominasi hutan, kebun teh, dan permukiman yang terencana, mengalami perubahan pemanfaatan lahan yang tidak selalu sejalan dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Prof. Barus menekankan pentingnya keselarasan antara perencanaan dan pemanfaatan ruang untuk mencegah bencana serupa di masa mendatang. Ia juga mengkritik lemahnya pengawasan terhadap pemanfaatan ruang, di mana praktik di lapangan sering menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan. Contohnya, pembangunan permukiman di lokasi yang tidak sesuai peruntukan atau tidak mampu menampung beban lingkungan seharusnya dicegah. Penggunaan teknologi seperti citra satelit dan drone, menurut Prof. Barus, sangat efektif untuk memantau dan mencegah penyimpangan ini.
Solusi dan Rekomendasi Jangka Panjang
Sebagai solusi, Prof. Barus menyarankan agar pemerintah daerah memanfaatkan data yang telah tersedia, termasuk peta bahaya, kerentanan, dan risiko, untuk langkah pencegahan. Pemantauan sistematis di daerah berisiko tinggi, khususnya selama musim hujan, sangat krusial. Pengembangan model deteksi dini berbasis spasial juga direkomendasikan untuk mendukung upaya pencegahan. Selain itu, dukungan kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan aparatnya juga harus ditingkatkan. Lebih jauh, ia menekankan perlunya perencanaan tata ruang yang detail dan akurat, yang disertai konsekuensi hukum jika terjadi pelanggaran. Pendekatan bertahap dan spesifik, seperti yang telah dilakukan IPB University di Desa Cibulao dengan mengalihkan petani hortikultura ke pertanian kopi yang lebih berkelanjutan, dianggap penting untuk keberhasilan program penataan ruang jangka panjang.
Kesimpulannya, banjir di Puncak bukan hanya bencana alam semata, melainkan hasil dari kesalahan perencanaan tata ruang dan lemahnya pengawasan. Penerapan perencanaan yang terintegrasi dengan daya dukung lingkungan, diiringi pengawasan yang ketat dan pemanfaatan teknologi terkini, menjadi kunci untuk mencegah bencana serupa di masa depan dan melindungi masyarakat Puncak dari ancaman banjir dan longsor.