Kembali ke Buku, Kembali ke Akal Sehat
13-November-24, 22:12SUDAH seperempat abad internet menguasai peradaban manusia. Dunia terasa semakin datar dan dekat, tidak ada lagi sekat atau tangga sosial yang harus dilewati untuk menuju puncak karier.
Semua memiliki kesempatan sama karena memiliki akses yang sama terhadap informasi.
Produksi Informasi bukan lagi bertambah secara eksponensial, tetapi sudah eksplosif, dunia kini kebanjiran informasi.
Maka tidak heran apabila banyak manusia yang terseret, bahkan tenggelam dalam lautan informasi karena tidak pandai dalam menyikapi.
Dunia maya telah membawa manusia hidup dalam kemayaan yang hampa, menolak bahkan menalak kenyataan sejati. Akal sehat tak berfungsi, manusia banyak yang terseret kepada kepintaran semu.
Banyaknya informasi tidak menjamin manusia semakin pintar atau bijak, malah sebaliknya yang terjadi adalah manusia mengalami kedangkalan pengetahuan yang mengakibatkan kebingungan massal, bahkan sakit jiwa global karena resonansi kognitif.
Terjadinya kendangkalan tersebut salah satu indikatornya adalah di era internet ini tidak ada karya-karya monumental atau adikarya dari bidang apa pun, terlebih dari kaum Milenial dan Generasi Z yang sedang menjadi masalah karena sangat banyak yang menganggur.
Tujuan utama media sosial bukan untuk menyebarkan kebenaran atau informasi mendalam, tetapi viralitas. Oleh karenanya, pesan berfokus pada emosi dan sentimen untuk meningkatkan keterlibatan, baik itu melalui humor, empati, kemarahan, atau kebahagiaan.
Smartphone semakin canggih sehingga dapat menggantikan manusia untuk berpikir dan mengingat.
Robot semakin pintar, sementara manusia berubah menjadi robot-robot yang beraktivitas atas perintah segelintir orang pintar melalui platform yang dibuatnya.
Kini miliaran manusia telah menjadi hamba, bahkan budak yang setiap detik, dengan sukarela dan riang gembira, menyetorkan data pada pemilik platform.
Pada zaman feodalisme abad pertengahan para hamba melalui kaki tangan raja, menyetor upeti berupa bahan pangan kepada sang raja atau ratu.
Pada zaman feodalisme modern ini, user menyumbang data kepada pemilik platform atas bujukan para influencer.
Pada zaman kerajaan platform ini, manusia bukan saja menyerahkan uangnya, tetapi juga menyerahkan isi pikiran melalui jurnal-jurnal internasional dan menyerahkan perasaan atau isi hatinya melalui media sosial yang kemudian diolah menjadi produk atau jasa yang dijual kembali kepada user.
Inilah zaman di mana para koloni mengiba dan dengan sukarela membayar supaya dijajah oleh para raja global. Pemilik platform lebih berkuasa daripada negara, pikiran manusia telah ditumpulkan, bahkan dilumpuhkan oleh keperkasaan media sosial.