Nasib Perempuan Rentan di Indonesia: Menagih Janji Negara di Hari Kartini

Hari Kartini, yang kerap dirayakan dengan seremonial dan penghormatan simbolis, kembali hadir sebagai momentum untuk merefleksikan nasib perempuan Indonesia, khususnya kelompok paling rentan seperti pekerja rumah tangga (PRT) dan perempuan adat. Di balik kebaya dan pidato, tersimpan ironi ketidakberpihakan negara yang berkelanjutan, tercermin dari lambannya penanganan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dan RUU Masyarakat Adat.

Sudah lebih dari dua dekade RUU PPRT terkatung-katung di parlemen, tanpa kejelasan. Sementara itu, RUU Masyarakat Adat, yang memuat perlindungan khusus bagi perempuan adat yang rentan, juga menghadapi nasib serupa. Padahal, data kekerasan terhadap perempuan terus meningkat. Komnas Perempuan mencatat ratusan ribu kasus setiap tahunnya. Ironisnya, di tengah kebutuhan mendesak akan perlindungan, anggaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) justru dipangkas, membatasi layanan pengaduan dan pendampingan korban.

Pekerja Rumah Tangga: Terabaikan dalam Hukum

Perempuan pekerja rumah tangga, yang berperan penting dalam menopang ekonomi keluarga kelas menengah ke atas, kerap kali tidak diakui sebagai pekerja formal. Akibatnya, mereka rentan terhadap upah rendah, jam kerja tak terbatas, kekerasan, dan bahkan penyekapan. Tanpa perlindungan hukum yang jelas, hak-hak mereka terus dilanggar.

Perempuan Adat: Kehilangan Ruang Hidup dan Suara

Di sisi lain, perempuan masyarakat adat menghadapi tantangan yang berbeda namun sama beratnya. Alih fungsi hutan, eksploitasi sumber daya alam, dan pembangunan yang tidak menghormati hak-hak kolektif mereka telah merampas ruang hidup dan mata pencaharian mereka. Mereka kehilangan suara dalam musyawarah adat dan bahkan dalam kehidupan bernegara.

Perempuan adat yang berjuang mempertahankan hutan bukan hanya menjaga kelestarian lingkungan, tetapi juga melestarikan sejarah dan martabat komunitas mereka. Namun, negara belum hadir sepenuhnya untuk melindungi peran penting ini.

Menagih Akuntabilitas Negara

Hari Kartini seharusnya menjadi momentum refleksi: sejauh mana negara telah berpihak pada perempuan, bukan hanya dalam wacana, tetapi dalam kebijakan yang konkret. Perempuan tidak menuntut perlakuan istimewa, melainkan pengakuan sebagai warga negara yang setara, yang hak-haknya dijamin oleh konstitusi dan dilindungi oleh hukum.

Keberpihakan sejati membutuhkan tindakan nyata: undang-undang yang berpihak, anggaran yang memadai, dan aparat penegak hukum yang adil. Negara harus bertindak untuk melanjutkan perjuangan Kartini demi keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan.

Dalam kerangka kontrak sosial, negara memiliki kewajiban untuk melindungi semua warga negara, termasuk perempuan. Kegagalan negara dalam melindungi perempuan merupakan pelanggaran terhadap janji dasarnya. Hak asasi perempuan bukanlah bonus, melainkan hak kodrati yang melekat sejak lahir.

Konstitusi Indonesia dan hukum internasional, seperti Konvensi CEDAW, telah menegaskan kewajiban negara untuk melindungi perempuan dari kekerasan dan diskriminasi. RUU PPRT dan RUU Masyarakat Adat adalah instrumen penting untuk mewujudkan prinsip kesetaraan di depan hukum. Ketiadaan regulasi yang memadai berarti ketidakadilan dibiarkan, melanggar hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya perempuan.

Maka, sudah saatnya negara berhenti mengabaikan penderitaan perempuan. Peringatan Hari Kartini adalah panggilan untuk menagih akuntabilitas negara. Ini bukan hanya tentang keberpihakan pada perempuan, tetapi keberpihakan pada kemanusiaan. Tidak ada kemajuan sejati yang dapat dirayakan selama suara perempuan masih dibungkam dan nyawa mereka terancam. Negara harus turun tangan, bersama perempuan, untuk menjadikan hukum bukan hanya teks, tetapi janji yang ditepati.

Semangat Kartini harus terus menyala, menginspirasi negara dan para pembuat kebijakan untuk mewujudkan hukum, keadilan, dan martabat perempuan. Perempuan Indonesia tidak membutuhkan sekadar bunga dan pujian, mereka membutuhkan tindakan nyata.